REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bukan hal baru untuk mengetahui bahwa Indonesia merupakan salah satu penghasil sampah terbesar di dunia. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa dari 100 persen sampah tersebut, 44 persen adalah sampah makanan.
Bahkan, berdasarkan data FAO, sepertiga bahan makanan berakhir sebagai sampah. Karenanya, tidak mengagetkan jika Economic Intelligence Unit mencatat Indonesia sebagai negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia, dengan total sampah makanan sebanyak 300 kg/tahun per kapita. Hal ini sangat miris mengingat bahwa Indeks Kelaparan (Hunger Index) Indonesia ada di angka 19.9 dan masuk dalam kategori “Almost Severe”.
Data lain dari UNEP Food Waste Index tahun 2021 menunjukkan bahwa jumlah sampah makanan secara global mencapai angka 931 juta ton pada tahun 2019. Ironisnya, pandemi Covid-19 telah meningkatkan angka gizi buruk di antara 83-123 juta jiwa. Dan 6,7 juta di antaranya adalah anak-anak yang menderita gizi buruk akut.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia tetap optimistis untuk mengurangi sampah dengan target 30 persen dan 70 persen pada tahun 2025, termasuk di dalamnya adalah sampah makanan. Bahkan, pengurangan sampah makanan menjadi salah satu prioritas dalam RPJMN 2020-2024, sebagaimana disampaikan oleh perwakilan Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup, BAPPENAS.
Menurut perwakilan Anang Nugroho, Direktur Pangan dan Agrikultur BAPPENAS, lebih detil, produk hortikultura, terutama sayuran, adalah produk penyumbang sampah makanan terbesar di Indonesia, yang wajib mendapat perhatian.
Melihat hal tersebut, IBCSD Bersama dengan WRAP mengenalkan inisiatif yang berbasis voluntary agreement, dimana bisnis dapat ikut berkomitmen dan mulai menghitung serta menganalisa susut dan limbah pangan masing-masing. Memang, salah satu solusi tepat dalam menangani permasalah sampah makanan ini adalah dengan pelibatan sektor bisnis.
Berdasarkan paparan dalam diskusi bertajuk “Aksi Bisnis untuk Atasi Susut Pangan dan Limbah Pangan di Indonesia” yang diselenggarakan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) pada 29 April 2021, hanya 11,5 persen sampah makanan dihasilkan pada proses konsumsi.
Sementara, proses produksi menyumbang 23,5 persen susut dan limbah pangan, kemudian penyimpan pasca panen menyumbang 24,4 persen, proses manufaktur 20,3 persen, dan distribusi sebesar 20,3 persen. Artinya, bisnis memiliki peran sangat besar dalam menangani masalah ini.
“IBCSD bermaksud mengenalkan inisiatif yang berbasis voluntary agreement untuk dapat mengatasi permasalahan susut dan limbah pangan di Indonesia. Kami yakin bahwa permasalahan ini telah menjadi perhatian banyak pihak. Sehingga hal ini bukan menjadi sebuah program reinventing the wheel, tetapi menjadi pendukung dan penyempurna inisiatif yang ada secara global maupun nasional,” ujar Yono Reksoprodjo, Executive Committee IBCSD, dalam rilis yang diterima, Kamis (29/4).
Yang menarik, memetakan dan mengurangi susut serta limbah sampah dalam suatu rantai bisnis tidak hanya memberikan keuntungan pada lingkungan dan membantu pencapaian target pemerintah.
International Partnership Manager WRAP, Michael Jones, memberikan contoh nyata bahwa bisnis-bisnis di UK yang menerapkan pengurangan susut dan limbah pangan di perusahaannya berhasil mengurangi biaya yang sebelumnya tidak tampak, dan memberikan benefit yang signifikan bagi bisnis.