REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Kebijakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tentang pelarangan penjualan alkohol selama masa penguncian karena Covid-19 ternyata mendapat penentangan keras dari para lawan politiknya. Oposisi menilai Erdogan justru memaksakan syariat Islam pada negara sekuler itu. Dalam kebijakan, Erdogan memutuskan penjualan alkohol di toko-toko dan supermarket akan dilarang mulai 29 April. Ini diharapkan membantu mengekang infeksi Covid-19.
Namun demikian anggota oposisi utama Turki, Partai Rakyat Republik (CHP) berpendapat bahwa kebijakan tersebut mencerminkan keinginan Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) untuk menerapkan gaya hidup yang lebih religius di Turki
“Pembatasan alkohol ini tidak ada hubungannya dengan pandemi. Ini sepenuhnya ideologis. Dan itu adalah contoh terbaru dari upaya untuk mencampuri gaya hidup masyarakat," kata anggota parlemen dari CHO, Veli Agbaba seperti dilansir Ahval News pada Jumat (30/4).
Sementara Menteri Dalam Negeri Turki, Suleyman Soylu mengklaim bahwa beberapa negara di Eropa juga telah melarang alkohol untuk membatasi penyebaran Covid-19.
"Ada banyak contoh di Eropa. Inggris, Prancis, Jerman. Kami mencontoh tindakan kami berdasarkan tindakan mereka, ”kata Soylu.
Namun tak satu pun dari negara yang disebutkan Soylu tersebut telah memberlakukan larangan minuman beralkohol sebagai bagian dari tindakan pencegahan pandemi. Larangan yang serupa dengan yang ada di Turki tidak pernah diberlakukan di Inggris. Di Prancis dan Jerman, konsumsi alkohol secara berkala dibatasi untuk mencegah pertemuan di mana orang banyak dapat menyebarkan virus, dan bahkan hanya di tempat terbuka. Penjualan minuman keras dari pasar dan toko tidak pernah dilarang.
Pengadilan di negara bagian Bavaria, Jerman, memutuskan pada 19 Januari bahwa pemerintah tidak berhak melarang konsumsi alkohol di semua tempat umum, bahkan untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.