REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah membekali manusia dengan syahwat dan nafsu, berbeda dengan malaikat. Nafsu dan syahwat memang kerap mengecoh seorang hamba dari jalan kebaikan, lantas mengapa nafsu dan syahwat justru diciptakan?
Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam menjelaskan, jika saja tidak ada syahwat dan nafsu, maka perjalanan para salik menuju Allah tidak akan pernah ada. Sebab Allah lebih dekat kepada seseorang daripada dirinya sendiri.
Ibnu Athaillah berkata: "Law laa mayaadinu an-nufusi maa tahaqqaqa sairu as-saairina, laa masaafata bainaka wa bainahu hatta tahwiyaha rihlatuka. Wa laa qath'ata bainaka wa bainahu hatta tamhuhawashlatuka,".
Yang artinya: "Jika saja bukan karena adanya wilayah-wilayah nafsu, maka tentu takkan ada perjalanan orang-orang yang menuju Allah. Sebab tak ada lagi jarak antara dirimu dengan diri-Nya yang mesti engkau tempuh. Tak ada pula penghalang yang acap kali melenyapkan harapanmu agar sampai pada-Nya,".
Dijelaskan jika manusia tidak memiliki nafsu dan syahwat, maka permusuhan antara manusia dengan Allah yang harus diselesaikan tidak ada. Permusuhan tidak terjadi, kecuali pada dua hal yang saling berlawanan.
Sedangkan di sini, manusia membutuhkan cinta dan hubungan dengan-Nya. Memangnya siapa manusia hingga berani memusuhi Allah?
Di saat itulah, kata Ibnu Athaillah, syahwat manusia hilang sehingga ia tidak perlu lagi menempuh perjalanan panjang menuju Allah. Karena perjalanan ke sana bermakna memutus halangan dan rintangan jiwa, menghapus pengaruhnya, serta menyingkirkan watak dan kebiasaan buruknya agar ia bersih dari semua.