REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sejumlah Ormas meminta DPR RI melakukan evaluasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini menyusul atas mangkraknya sejumlah Kasus Kasus Mega Korupsi termasuk meminta penjelasan tentang diterbitkannya Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3) atas Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang telah merugikan keuangan Negara hampir Rp 5 triliun.
Kesepuluh ormas tersebut yait KAMAKSI, PPMK, KOMPAK, POKNAS, PUSPERANDA, GARUDA MAS, GMPPK, PSMP, RIB, dan PIM.
Kordinator Ormas dan Lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Penyelamat Asset dan Kekayaan Negara (KOMPAKAN), Ahmad Yani Panjaitan, mengatakan DPR RI sebagai penyambung aspirasi rakyat yang berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kinerja Pemerintah khususnya Lembaga penegak hukum di negeri ini harus tegas dan berani meminta pertanggung jawaban KPK atas kinerja dan seluruh kebijakannya terhadap semua tindak pidana korupsi, “KPK Jangan sampai tebang pilih,” kata dia di Jakarta, Sabtu (1/5).
Dalam surat yang ditujukan ke DPR RI tertanggal 1 Mei 2021 tersebut, KOMPAKAN meminta Komisi III DPR RI harus segera memanggil dan meminta penjelasan KPK tentang mangkraknya beberapa kasus Mega Korupsi yang sudah betahun-tahun tidak ada kejelasan termasuk adanya beberapa orang yang disebut nama nama mereka dalam fakta persidangan kasus kasus Mega Korupsi tersebut tapi tidak ada tindak lanjutnya antara lain kasus Bank Century, E-KTP, pengadaan helikopter yang diduga melibatkan pimpinan KPK RI, Harun Masiku, kasus suap KPU, dan Bansos RI.
Dalam surat tersebut juga, Koalisi ini juga meminta agar DPR segera membentuk “tim pencari fakta atau Pansus atas dugaan kuat selama ini di jajaran KPK telah terjadi “makelar kasus” dengan telah terjadinya beberapa kasus pencurian barang bukti berupa emas sekitar 2 Kg, kasus pemerasan yang dilakukan oknum penyidik KPK yang berinisial SRP terhadap Walikota Tanjungbalai serta diduga adanya kebocoran informasi di internal KPK saat Penggeledahan KPK di kantor PT Jhonlin Baratama di Batulicin, Kalimantan Selatan pada 9 April 2021 yang mengalami kegagalan.
“Kami juga menduga kuat bahwa praktik “negosiasi” atau “mafia kasus” di lingkungan KPK bisa jadi telah berlangsung cukup lama, dugaan kami ini diperkuat dengan adanya beberapa case suap, pemerasan, pencurian barang bukti berupa emas 1,9 Kg dan bocornya informasi penggeledahan KPK di Kalimantan Selatan pada waktu sebulan terakhir ini,“ kata dia sembari menambahkan pihaknya membuka posko penerimaan aduan, laporan, dan pernyataan dari masyarakat atas kemungkinan adanya tindakan penyalahgunaan hak dan wewenang KPK.
Ditempat terpisah, Andianto SH, pengacara yang juga Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Muda yang tergabung dalam Koalisi menyampaikan keprihatinannya terhadap cara cara penyidikan yang dilakukan KPK terhadap beberapa vase misalkan terkait vase yang lagi Viral atas dugaan keterlibatan Wakil Ketua DPR RI AZ yang disangkakan ikut memfasilitasi Pertemuan antar penyidik KPK AKP SRJ dengan Walikota Tanjung Balai MS.
Dia menyebut, dalam case ini KPK terkesan dipaksakan untuk mencari alat bukti yang bisa menjerat Wakil ketua DPR tersebut sebagai tersangka, padahal alat bukti yang membuktikan adanya aliran dana dan atau perintah dan keterlibatan beliau di kasus tersebut masih samar dan tidak punya alat bukti yang kuat, tapi KPK seolah olah membabi buta untuk mencari alat buktinya, sementara puluhan kasus kasus Mega Korupsi yang sudah tersebut nama namanya di fakta persidangan Tipikor tidak dapat ditindak lanjuti. “Inikan ibarat pepatah yang menyatakan gajah dipelupuk mata di umpetin, jarum ditumpukan jerami dicari-cari,” ujar dia.