REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para pengunjuk rasa yang menentang pemerintahan militer melakukan aksi protes di Myanmar, Sabtu (1/5). Tiga bulan sudah demonstrasi digelar setelah kudeta para pengunjuk rasa berupaya memprotes kekuasaan militer dan meminta memulihkan demokrasi.
Militer mencoba mengakhiri perbedaan pendapat, namun tetap memaksakan otoritasnya pada rakyat yang sebagian besar menentang kembalinya kekuasaan oleh para jenderal setelah 10 tahun reformasi demokrasi.
Pada Sabtu (1/5), kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mencatat setidaknya 759 warga sipil tewas di tangan junta saat melakukan aksi protes damai. "Tujuan kami, demokrasi, tujuan kami, serikat federal. Pemimpin yang ditangkap bebas," teriak pengunjuk rasa di salah satu dari dua aksi unjuk rasa di kota utama Yangon, dikutip The Strait Times, Sabtu.
Pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi (75 tahun) telah ditahan sejak kudeta bersama dengan banyak anggota partainya. AAPP mengatakan lebih dari 3.400 orang telah ditahan karena menentang militer.
Selain di Yangon, media melaporkan aksi unjuk rasa damai juga digelar di kota kedua terbesar di Myanmar yakni Mandalay, dan kota selatan, Dawei. Hingga berita ini dimuat oleh Strait Times, belum ada laporan kekerasan junta.
Media melaporkan telah terjadi beberapa ledakan kecil di tempat berbeda termasuk Yangon pada Jumat malam dan Sabtu malam. Tidak ada laporan langsung tentang korban dan tidak ada klaim tanggung jawab.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan untuk meminta komentar. Militer menuduh aktivis pro-demokrasi menanam bom.