Ahad 02 May 2021 08:56 WIB

FSGI Soroti Gagalnya Kebijakan PJJ pada Masa Pandemi

Tak semua siswa punya gadget untuk PJJ dan berada di wilayah tak terjangkau internet.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Friska Yolandha
Sejumlah siswa SDN 1 Inten Jaya mengerjakan tugas melalui gawainya di Kampung Lebak Limus, Lebak, Banten, Senin (20/7/2020). Sejumlah siswa yang tinggal di daerah pelosok tersebut kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) secara daring dan tepaksa menempuh perjalanan hingga satu kilometer dari kediamannya menuju ke dataran yang lebih tinggi agar mendapatkan jaringan internet guna mengerjakan tugas sekolah melalui gawai yang nantinya dikirim melalui aplikasi percakapan WhatssApp.
Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas
Sejumlah siswa SDN 1 Inten Jaya mengerjakan tugas melalui gawainya di Kampung Lebak Limus, Lebak, Banten, Senin (20/7/2020). Sejumlah siswa yang tinggal di daerah pelosok tersebut kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) secara daring dan tepaksa menempuh perjalanan hingga satu kilometer dari kediamannya menuju ke dataran yang lebih tinggi agar mendapatkan jaringan internet guna mengerjakan tugas sekolah melalui gawai yang nantinya dikirim melalui aplikasi percakapan WhatssApp.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyoroti kebijakan belajar dari rumah (BDR) atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dinilai gagal mengatasi krisis pendidikan di masa pandemi Covid-19. Sekjen FSGI Heru Purnomo mengatakan serangkaian kebijakan yang dibuat pemerintah belum menunjukkan hasil.

Justru, FSGI mencatat angka putus sekolah bertambah dan peserta didik dari keluarga miskin nyaris tidak terlayani karena ketiadaan alat daring. "Kekeliruan dari awal adalah Kemendikbud menjadikan BDR menjadi PJJ daring yang bertumpu pada internet, padahal disparitas digital sangat lebar antar daerah di Indonesia," ujar Heru Purnomo dalam keterangan tertulisnya berkaitan peringatan Hari Pendidikan Nasional, Ahad (2/5).

Baca Juga

Ia menilai program BDR atau PJJ ini tidak efektif karena terlalu bertumpu kepada internet sehingga kebijakan yang dibuat berorientasi pada pemberian bantuan kuota pada pendidik dan peserta didik. Namun, pemberian bantuan kuota tidak disertai dengan pemetaan kebutuhan kuota yang beragam.

Ditambah, banyak peserta didik dari keluarga miskin yang tidak memiliki gawai dan juga wilayah blank spot tidak dapat menikmati bantuan kuota internet dan tidak terlayani PJJ.

Ia melanjutkan, di tengah kebuntuan dari kebijakan PJJ tersebut, pemerintah justru melakukan relaksasi SKB 4 Menteri yang akan membuka sekolah tatap muka serentak pada Juli 2021 di tengah pandemi Covid 19 yang belum mampu dikendalikan oleh pemerintah. 

"Seolah melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) adalah cara ampuh mengatasi permasalahan pendidikan di masa pandemi, padahal ini hanya kemalasan berpikir mencari terobosan lain dan dapat menimbulkan permasalahan lain," kata Heru.

Sebab, pembukaan sekolah tatap muka berpotensi terjadi ledakan kasus covid-19 jika tidak disertai kesiapan dan perlindungan berlapis untuk peserta didik dan pendidik. Ia mengatakan, banyak kasus Covid-19 setelah satuan pendidikan menggelar PTM.

Ia menilai kebijakan pendidikan yang dibuat untuk mengatasi PJJ kurang  berhasil karena hanya bersifat umum dan cenderung menyeragamkan tanpa melihat kesenjangan yang begitu lebar dan tidak memanfaatkan potensi yang dimiliki daerah yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kebuntuan PJJ secara daring. 

“Peran Kepala Sekolah dalam mengatasi PJJ tidak mampu mengelola sekolah secara khas sesuai kondisi masing-masing. Jadi para guru yang kebingungan dalam melayani PJJ tidak mendapatkan bantuan, dukungan dan solusi dari  Kepala Sekolahnya,” katanya.

Karena itu, FSGI merekomendasikan beberapa hal antara lain mendorong Kemendikbud bersinergi dengan dinas-dinas pendidikan Daerah untuk memastikan terlaksanananya proses pembelajaran antara siswa dan guru dengan berbagai model dan cara sesuai disparitas wilayah, potensi dan kesiapan sekolah. 

Sehingga, Kemendikbud membuat skenario yang jelas dan terpantau untuk masing-masing sekolah, tidak lagi diserahkan kepada tim Covid secara global dalam satu kabupaten/kota.

Kedua, FSGI mendorong Kemendikbud bekerja sama dengan Dinas Dinas Pendidikan Daerah harus melakukan pemetaan yang jelas tentang efektifitas BDR di wilayah perkotaan dan Pedesaan.

"Jangan merasa hanya dengan pembagian paket internet permasalahan BDR selesai. Program bantuan Pulsa/Paket internet bisa saja dilanjutkan tetapi harus dibarengi dengan pembagian gadget dan atau alat penguat sinyal. Opsi penggunaan guru kunjung dan lainnya harus menjadi alternatif," kata Heru.

Ketiga, FSGI mendorong Kemendikbud dan Dinas-dinas pendidikan harus menfasilitasi terjadinya berbagai model pembelajaran tatap muka, tidak hanya di sekolah namun bisa dilakukan di lapangan terbuka, gubung, pantai dan atau tempat lain sesuai kondisi sekitar sekolah. Karena PTM yang dipaksakan disekolah justru menyiksa mental siswa.

Sebab, dalam pantauan FSGI ada sekolah yang menjalankan BDR apa adanya. Bahkan ada yang PTM namun siswa merasa tidak nyaman dan tidak bisa belajar.

Selain itu, Kemendikbud juga tidak boleh memaksakan program yang tidak tepat guna untuk masa pandemi, semisal pendidikan Calon Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, Organisasi penggerak yang justru membebani penanganan pendidikan di masa pendemi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement