REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keuskupan Timika menyatakan menolak pelabelan kelompok teroris terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Dengan adanya label tersebut, ruang demokrasi yang selama ini mati suri akan benar-benar mati di Tanah Papua.
"Kami meminta Presiden Joko WIdodo dan pimpinan aparat keamanan, agar melakukan indetifikasi kelompok KKB secara benar dan serius agar tidak mengorbankan masyarakat sipil, dan untuk itu kami menolak lebel teroris kepada KKB," ujar Aministrator Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo, saat dihubungi Republika, Ahad (2/5).
Dia menyatakan, dengan label teroris ruang demokrasi yang selama ini mati surih akan benar-benar mati di Tanah Papua. Kemudian, "Papua Tanah Damai” yang selama ini diperjuangkan oleh pimpinan agama-agama dan masyarakat di Tanah Papua akan ternoda.
"Sebelum menetapkan KKB sebagai teroris, ada serangkaian kejadian beruntun yang patut diduga adanya sebuah skenario," jelas dia.
Keuskupan Timika juga meminta pemerintah dan pimpinan aparat keamanan untuk bicara secara terbuka siapa sebenarnya yang dimaksud sebagai KKB. Menyrut dia, sampai saat ini identitas KKB masih samar dan menimbulkan banyak pertanyaan.
"Seperti, apakah KKB itu bukan sekelompok milisi? Atau apakah KKB itu bukan TPNOPM yang ingin memisahkan diri dari Indonesia? Atau mungkin sebuah kelompok yang lain sama sekali?" kata dia.
Lalu, Keuskupan Timika juga meminta para pimpinan aparat keamanan dan para pemimpin TPNOPM agar menahan diri. Kedua belah pihak diminta untuk melakukan genjatan senjata dan bersama-sama mencari jalan penyelesaian yang lebih bermartabat, lebih manusiawi, terbuka, dialogis, dan saling manghargai.
Pemerintah dan para pimpinan aparat keamanan juga diminta untuk mengevaluasi pendekatan penyelesaian konfik di Papua yang selama ini digunakan. Menurut Marthen, pendekatan yang sama sudah digunakan begitu lama dan sampai hari ini konflik dan kekerasan tidak selesai. Bahkan terkesan lebih buruk dari sebelumnya.
"Pimpinan pemerintah dan agama di seluruh tingkatan, agar tetap menjadi pembina yang baik dan bijaksana untuk terus berupaya membina warganya menjadi lebih baik, bisa berkembang ke depan, dan bukan sebaliknya; berupaya untuk menjadikannya menjadi lebih buruk dan menderita," kata dia.
Marthen pun mengatakan, pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Timika, yang wilayah pelayanannya meliputi wilayah-wilayah yang selama ini banyak terjadi konflik, seperti Kabupaten Puncak dan Intan Jaya, sangat prihatin atas peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Terlebih yang terjadi beberapa pekan terakhir.
Banyak umat dan masyarakat sipil, baik asli Papua maupun non Papua, terkena dampak dari konflik tersebut. Menurut dia, masyarakat sipil ketakutan sehingga mereka pergi meninggalkan rumah dan pekerjaan untuk mencari tempat perlindungan yang aman.
"Situasi di wilayah pelayanan kami, sungguh-sungguh buruk. Perlu adanya upaya bersama, menemukan langkah-langkah yang tepat dan bijaksana untuk mengembalikan situasi agar menjadi normal kembali," ungkap Marthen.
Menurut dia, pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Timika sangat sedih dan menyesal atas tanggapan pemerintah yang “memerintahkan” aparat keamanan untu menangani konflik di Papua. Sebab, hal itu akan berdampak lebih buruk terhadap situasi di Papua.
"Karena sebelum ada perintah langsung dari presiden dan penetapan KKB sebagai teroris, sudah banyak sekali korban dari pihak masyarakat sipil; ditembak mati karena disangka, dikira dan ternyata salah tembak," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah telah mengategorikan organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif sebagai teroris. Atas dasar itu, pemerintah telah meminta kepada semua aparat keamanan terkait untuk melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur terhadap organisasi-organisasi tersebut.
"Pemerintah mengangap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, pada konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (29/4).
Mahfud menjelaskan, keputusan tersebut diambil setelah mendengar pernyataan dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Intelijen Negara (BIN), pimpinan Polri-TNI, dan tokoh-tokoh Papua. Dia menerangkan, banyak tokoh masyarakat, tokoh adat Papua, serta pimpinan resmi Papua, yang datang ke kantornya.
Mereka semua menyatakan organisasi-organisasi itu melakukan pembunuhan dan kekerasan secara brutal dan masif. "(Mereka) menyatakan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan yang diperlukan guna menangani tindak-tindak kekerasan yang muncul belakangan ini di Papua," kata Mahfud.
Menurut dia, penetapan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2018. Di sana dijelaskan mengenai pengertian teroris dan juga terorisme. Untuk definisi teroris, kata Mahfud, dalam aturan tersebut berarti siapapun orang yang merencanakan, menggerakan, dan mengorganisasikan terorisme.
Sementara definisi terorisme yang diatur dalam aturan tersebut ialah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban secara massal.
"Dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, dan keamanan," sambung Mahfud.