Senin 03 May 2021 06:51 WIB

Inggris akan Ubah Hukum Jerat Warganya Terlibat Terorisme

Inggris akan tindak warganya yang terlibat terorisme seperti ISIS

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nashih Nashrullah
Inggris akan tindak warganya yang terlibat terorisme seperti ISIS. Ilustrasi Inggris
Foto: Andi Rain/EPA-EFE
Inggris akan tindak warganya yang terlibat terorisme seperti ISIS. Ilustrasi Inggris

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berencana mengubah Undang-Undang Pengkhianatan Inggris. Tujuannya untuk menuntut warga yang bepergian ke luar negeri untuk bergabung dengan kelompok teroris seperti ISIS. 

Undang-undang tersebut telah diberlakukan sejak 1351 dimana terakhir digunakan untuk menuntut simpatisan Nazi William Joyce pada 1946. UU itu disebut tidak dapat dijalankan anggota parlemen sehubungan dengan para jihadis yang kembali ke Inggris dari Irak dan Suriah. 

Baca Juga

Proposal untuk mereformasi undang-undang yang telah berusia 650 tahun ini mencakup perluasan definisi tentang apa yang merupakan "musuh" dan "tindakan pengkhianatan" untuk diterapkan pada aktor non-negara, termasuk organisasi teroris. Bahkan yang lebih kontroversial, ada juga usulan untuk memaksa orang yang bepergian ke daerah yang diketahui sebagai tempat kelompok musuh.

"Ini adalah sesuatu yang dimiliki berbagai negara, sebuah sistem yang menyatakan bahwa bepergian ke negara atau wilayah tertentu tidak selalu legal," kata sumber anonim Kantor Dalam Negeri Inggris dilansir dari The Times pada Sabtu (1/5).

"Ini tentang menunjukkan alasan yang sah, dan sangat sedikit orang yang pergi ke Irak selatan atau Suriah karena cuaca pada Agustus,".

Sumber lain mengatakan saat ini, bagi orang-orang yang kembali ke Inggris, pemerintah perlu membuktikan bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang buruk. RUU ini akan membalikkan itu. 

"Mereka yang kembali harus membuktikan bahwa mereka tidak melakukan sesuatu yang buruk, jika tidak, mereka akan menghadapi tuntutan," ujar sumber anonim itu.

Perubahan tersebut, jika dikonfirmasi, akan diungkapkan dalam pidato ratu di Parlemen pada 11 Mei. "Kami tidak meminta maaf karena melakukan apa pun yang diperlukan untuk menjaga keamanan Inggris dari mereka yang menimbulkan ancaman," kata juru bicara pemerintah. 

"Individu yang tetap berada di zona konflik termasuk individu yang sangat berbahaya. Mereka berpaling dari negara ini untuk mendukung kelompok (ISIS) yang membantai dan memenggal warga sipil yang tidak bersalah, termasuk warga negara Inggris,".

Inggris telah berjuang dengan penuntutan terhadap tersangka anggota ISIS yang kembali dari Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir karena kurangnya bukti pelanggaran yang meyakinkan.

Menurut statistik Home Office, 900 warga Inggris dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional setelah bepergian untuk bergabung dengan kelompok teroris sejak 2011.

Dari jumlah tersebut, sekitar 400 telah kembali ke Inggris, tetapi sedikitnya 10 persen telah diadili; 200 diperkirakan tewas, dengan lebih banyak lagi saat ini ditahan di kamp penjara di seluruh wilayah.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement