REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski pandemi Covid-19 belum usai, animo masyarakat untuk mudik dan belanja, seperti membeli baju baru jelang Hari Raya Idul Fitri, tetap tinggi. Sosiolog Musni Umar menilai kedua hal itu merupakan budaya yang sudah sangat mengakar, sehingga akan sangat sulit bagi pemerintah untuk melakukan pelarangan.
"Ini budaya masyarakat, Lebaran tiap tahun mudik dan belanja baju baru. Tidak ada duit pun mereka akan berhutang." ujar Musni Umar kepada Republika.co.id, Senin (3/5).
Budaya yang sudah sangat mengakar ini pun sulit untuk dihilangkan, meskipun ada resesi karena pandemi. Selain itu, jika mudik dan belanja juga dilarang, ini akan membuat ekonomi masyarakat tidak berjalan semestinya.
Untuk generasi milenial, yang lebih berpendidikan, mereka bisa mengatur penghasilan mereka untuk dana darurat selama pandemi. Akan tetapi, bagi masyarakat umum, kata Musni, momen Lebaran harus dirayakan dengan baju baru dan mudik.
Berbeda dengan pegawai negeri dan pekerja kantoran yang mendapatkan THR, para pengemudi kendaraan umum dan pedagang sangat bergantung pada momen-momen Lebaran.
"Banyak supir-supir angkutan yang mengeluh, mereka nggak punya THR, kalau mudik dilarang bagaimana?," ujar Musni.
Di sisi lain, masyarakat di daerah pun juga menanti aliran dana yang berasal dari masyrakat yang mudik ke daerah mereka. Oleh karena itu, menurutnya memang lebih tepat memperbolehkan masyarakat tetap berbelanja dan mudik tapi dengan tetap harus disiplin protokol kesehatan.
Untuk itu ia menekankan pendekatan edukasi mengenai pentingnya protokol kesehatan di saat Lebaran, dengan tetap menggunakan masker, dan jaga jarak atau tidak berkumpul di keramaian.
"Kalau kita melarang rakyat untuk pergi kesana kesini, yang rugi kita juga. Harus lebih banyak pendekatan bagaimana rakyat itu tetap bisa berjalan, tapi pada saat yang sama kekhawatiran Covid akan bertambah seperti India mudah-mudahan tidak terjadi dengan disiplin tinggi yang dimiliki," jelas.