REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Iran diperkirakan akan menjadi pokok pembahasan dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken dan Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab. Keduanya memakai masker saat bertemu satu hari sebelum pertemuan kelompok negara kaya Group of Seven (G7).
Tahun ini Inggris mendapat giliran sebagai ketua dan tuan rumah pertemuan G7. Kunjungan pertama Blinken ke London sebagai menteri luar negeri ini dilakukan di tengah spekulasi AS dan Inggris membuat kesepakatan dengan Iran untuk menukar tahanan mereka dengan aset-aset Teheran yang dibekukan Washington.
Iran juga sedang bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan dunia di Vienna untuk kembali bergabung ke kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Biden ingin bergabung kembali ke JCPOA setelah mantan presiden Donald Trump menarik keluar AS dari kesepakatan tersebut.
Selasa (4/5) perwakilan anggota G7 yakni Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS akan menggelar pertemuan bersama sejumlah perwakilan negara lainnya seperti Australia, India, dan Afrika Selatan. Sebelum pertemu Raab pada Senin (3/5) Blinken bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi.
Mereka membahas banyak hal mulai dari pandemi virus corona hingga krisis perubahan iklim. Keduanya juga mengungkapkan keprihatinan mengenai program nuklir dan rudal Korea Utara (Korut).
Inggris memiliki isu khusus mengenai Iran yakni kesejahteraan pekerja sosial Nazanin Zaghari-Ratcliffe. Pengadilan Iran menambah hukumannya satu tahun penjara atas dakwaan menyebar 'propaganda melawan sistem'.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan pemerintahannya sedang melakukan hal yang bisa mereka lakukan. Muncul laporan yang menyebutkan Inggris membayar Iran sebesar 400 juta poundsterling untuk mengamankan kebebasan Zaghari-Ratcliffe.
Sebelum pertemuan digelar, Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas memperingatkan 'negara-negara otoritarian' di seluruh dunia 'mencoba mengadu domba negara-negara demokratis'. Selain itu pelanggaran hukum internasional sudah menjadi hal umum.
"Penting bagi kami untuk menjaga nilai-nilai demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan ketertiban dunia berdasarkan hukum melawan mereka, bersatu dan kredibel," katanya.