REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Bulan lalu, Sri Lanka mengusulkan parlemen mempertimbangkan melarang wanita mengenakan cadar atau burqa di ruang publik. Tindakan tersebut dipandang sebagai anti-Islam dan menjadi sumber perhatian bagi minoritas Muslim.
Sri Lanka seolah-olah mengambil langkah drastis melawan radikalisasi dan memperkuat keamanan nasionalnya meskipun ada peringatan dari para pemimpin Muslim. Para peneliti yang telah mempelajari hubungan antara larangan penutup wajah dan ekstremisme mengatakan tindakan itu bisa dimanfaatkan oleh kelompok teroris dan mengarah pada peningkatan serangan kekerasan oleh pemberontak lokal.
“Bagi negara yang melarang pemakaian burqa berarti mereka melanggar kebebasan beragama dan hak pilihan para wanita,” kata Anggota di Religious Freedom Institute dan penulis studi tentang hubungan antara pelarangan burqa dan terorisme di Eropa Nilay Saiya.
Banyak penelitian yang menunjukkan, pembatasan terhadap ekspresi keagamaan, seperti pelarangan burqa akan menimbulkan keluhan dan kemungkinan besar beralih ke senjata. “Sangat mengejutkan, kami menemukan negara-negara dengan pembatasan cadar mengalami hampir 15 kali lebih banyak kasus serangan teroris Islam dan 17 kali lebih banyak kematian terkait terorisme daripada negara yang tidak memiliki larangan ini,” tulis mereka dalam studi 2019.