REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) mencatat, total 766 orang tewas dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Myanmar sejak 1 Februari 2021.
Dalam laporannya pada Selasa dini hari, kelompok masyarakat sipil tersebut mencatat tambahan satu orang yang tewas pada 2 Mei 2021 dan didokumentasikan pada 3 Mei 2021. AAPP juga melaporkan terdapat 3.614 orang yang saat ini ditahan, di mana 83 orang di antaranya telah dijatuhi hukuman.
Bertepatan dengan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei, AAPP mengungkapkan, ada 50 jurnalis sedang ditahan, sebanyak 25 orang di antaranya sudah diadili. AAPP menambahkan, terdapat dua jurnalis yang sedang menunggu persidangan, kemudian 29 jurnalis yang menghindari penangkapan.
“Kebebasan pers di Burma telah runtuh sejak kudeta,” tulis AAPP dalam laporannya pada Selasa dini hari (4/5).
AAPP mengungkapkan, kekejaman yang dilakukan oleh pasukan junta, baik di pedesaan dan perkotaan, semakin buruk setiap harinya. Pasukan junta, kata AAPP, menggerebek pusat pasien HIV/AIDS di Kotapraja East Dagon, Yangon, pada Senin.
Dari penggerebekan itu, pasukan junta menangkap tiga anak kecil yang menerima terapi antiretroviral (ART) serta sembilan pasien lainnya. AAPP mengkhawatirkan kondisi para pasien yang ditangkap mengingat mereka membutuhkan pengobatan setiap harinya dengan jadwal ketat.
Konflik juga dikabarkan terus berlanjut di negara bagian Kachin yang berbatasan dengan China. Menurut AAPP, Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) menembak sebuah helikopter militer hingga jatuh di sekitar Desa Kone Law, Momauk, Kachin, Senin.
Menanggapi tembakan itu, pasukan junta menggunakan artileri untuk menembaki Desa Kone Law hingga mengakibatkan seorang tewas dan 10 warga desa terluka.