REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dianjurkan menjaga sholat Isya dan subuh berjamaah agar mendapat keutamaan malam Lailatul Qadr. Dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ustman Bin Affan disebutkan bahwa:
"Siapa yang sholat Isya secara berjamaah maka ia seperti orang yang menghidupkan setengah malamnya, dan barang siapa yang sholat subuh secara berjamaah ia seperti orang yang menghidupkan seluruh malamnya.” (HR Muslim, No. 1049).
Ustaz Ahmad Zarkasih menjelaskan dalam hadits yang masyhur dijelaskan bahwa siapa orang yang menghidupkan malam Lailatul Qadar ia akan mendapatkan kemualian malam tersebut. Dengan amalam semalam itu maka kita akan diampuni seluruh dosanya yang telah lampau oleh Allah SWT.
"Dan ibadahnya malam itu dinilai sebagai ibadah selama 1000 bulan, yang tepatnya 83 tahun lebih," kata Ustaz Ahmad Zarkasih dalam bukunya "Meraih Lailatul Qadr Haruskah Itikaf?"
Saat ini kata Ustaz Ahmad yang jadi masalah ialah apakah seorang itu bisa meraih keutamaan malam Lailatul
Qodr hanya dengan sholat isya dan subuh berjamaah? Ini memang pertanyaan yang selalu ditanyakan dari tahun ketahun; apakah harus I’tikaf?
"Kalau harus I’tikaf apakah dalam itu harus selalu terjaga mata ini, tidak boleh tertidur? Artinya apakah harus
bergadang? Atau cukup saja shalat tarawih sudah terhitung sebagai orang yang menghidupkan malam?
Imam al-Syirbiniy dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj (2/189) mengutip pernyataan Imam AS-Sayfi’i dalam Qoul Qodim (pernyataan lama)-nya yang menyatakan bahwa keutamaan malam Lailatul Qadar itu bisa diraih bagi siapa yang hanya mengerjakan sholat Isya’ dan subuh secara berjamaah, sesuai hadits Ustman bin Affan di atas.
Kemudian beliau mengutip sebuah riwayat yang marfu’ dari Abu Hurairoh sebagai penguat statement sang Imam, disebutkan bahwa:
"Barang siapa yang sholat isya’ terakhir secara berjamaah, maka ia telah mendapatkan keutamaan malan Lailatul Qadar"
Pernyataan yang sama juga dikutip oleh Imam al-Ramliy dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj (3/215). Dan pernyataan ini kemudian dikuatkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ (6/451), bahwa pernyataan Imam Syafi’I tersebut ialah Qoul Qodim-nya, akan tetapi tidak ada nash (teks) Imam syafi’I
dalam Qoul Jadid (pernyataan baru) yang menyelisih atau menggubah pernyataan lamanya.
"Jadi inilah pendapat madzhab," kata Ustaz Ahmad.
Ini adalah pendapat beliau dalam qaul-qadim (lama), dan tidak diketahui adanya qaul-jadid (baru) yang menyelisih. Dan sebagaimana yang telah kami singgung di awal, bahwa apa yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i dalam qaul-qadim-nya dan tidak ada qaul-jadid yang menyelisih dan tidak juga yang menyepakati, maka itulah pendapat madzhab. Dan tidak ada yang menyelisih ini.”