REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Agenda utama pertemuan para menteri luar negeri (menlu) kelompok G7 berisi soal hak asasi manusia dan melindungi demokrasi. Bahasan itu termasuk kudeta di Myanmar dan tindakan keras militer terhadap pengunjuk rasa.
Perwakilan dari Jerman, Amerika Serikat (AS), Kanada, Prancis, Italia, Jepang, dan Uni Eropa akan mulai membahas Myanmar dengan menonton video dari Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar, sebuah dewan anggota parlemen yang digulingkan yang tujuan utamanya adalah memulihkan sebagian demokrasi di negara yang terkepung.
Seperti dilansir laman Deutsche Welle, video dari aktivis anti-kudeta dan etnis minoritas akan menginformasikan para menlu dengan situasi saat ini di lapangan. Menlu Raab juga diperkirakan akan menyerukan tindakan yang lebih kuat terhadap junta, yang merebut kekuasaan pada 1 Februari.
Langkah-langkah lebih keras yang dia desak dari sesama anggota G7 termasuk memperluas sanksi yang ditargetkan terhadap entitas yang terkait dengan militer, mendukung embargo senjata, dan meningkatkan bantuan kemanusiaan. Seiring berlalunya waktu, diskusi akan beralih ke Libya dan perang yang sedang berlangsung di Suriah.
Menlu Jerman Heiko Maas juga mengungkapkan kekhawatirannya atas perilaku negara otoriter. Dia mencoba mengingatkan anggota G7 lainnya menjelang pembicaraan.
"Melanggar aturan menjadi norma. Baik itu di kawasan Indo-Pasifik, di Amerika Latin atau di Eropa Timur," ujarnya.
Selain itu, langkah geopolitik Rusia juga akan diawasi, serta pemenjaraan Alexei Navalny oleh Kremlin dan situasi di Belarusia. Para menteri luar negeri juga akan membahas kekerasan di Ethiopia, Iran, Korea Utara, Somalia, Sahel, dan Balkan barat.
Isu-isu tersebut dibahas karena pertemuan di London ini menyebutnya sebagai 'tekanan mendesak masalah geopolitik yang mengancam demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia'. Setelah pembicaraan sepanjang hari, para menteri luar negeri akan mengadakan diskusi makan malam dengan negara-negara tamu India, Australia, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Brunei tahun ini.
Inggris memegang kursi kepresidenan bergilir G7. Negara tersebut telah menyebut acara itu sebagai kesempatan untuk menegaskan kembali pengaruhnya dan memainkan peran yang lebih besar dalam menghadapi ancaman yang dirasakan China dan Rusia.
"Kepresidenan G7 di Inggris merupakan kesempatan untuk menyatukan masyarakat yang terbuka dan demokratis dan menunjukkan persatuan pada saat sangat dibutuhkan untuk mengatasi tantangan bersama dan meningkatnya ancaman," kata Raab dalam sebuah pernyataan.
Para menlu dari negara terkaya di dunia bertemu tatap muka untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun setelah jeda yang diberlakukan akibat virus corona. Pertemuan itu dilakukan menjelang pertemuan puncak antara para pemimpin dunia yang akan berlangsung pada Juni di Cornwall, Inggris.