Rabu 05 May 2021 11:36 WIB

Ekonomi Membaik, Menkeu Ingatkan Risiko Booming Komoditas

Pemulihan sejumlah negara maju membuat harga komditas meningkat.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Pekerja menimbang tandan buah segar sawit di sebuah RAM Kelurahan Purnama Dumai, Riau, Rabu (3/2).  Pemerintah mengingatkan pemulihan ekonomi sejumlah negara besar berpotensi menimbulkan commodity boom.
Foto: ANTARA/Aswaddy Hamid
Pekerja menimbang tandan buah segar sawit di sebuah RAM Kelurahan Purnama Dumai, Riau, Rabu (3/2). Pemerintah mengingatkan pemulihan ekonomi sejumlah negara besar berpotensi menimbulkan commodity boom.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengingatkan pemulihan ekonomi sejumlah negara besar berpotensi menimbulkan commodity boom. Hal ini pernah terjadi pada 2009, commodity boom adalah fenomena, permintaan komoditas negara tersebut mulai pulih, sehingga mendorong harganya naik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kondisi ekonomi negara besar yang berada pada jalur positif akan membuat harga komoditas sangat kuat. “Ini mirip pada 2009 yang akan menciptakan ledakan komoditas yang mungkin harus diantisipasi dari sisi positif maupun negatif. Pemulihan beberapa negara besar dalam perekonomian, seperti China, AS, dan Eropa akan membuat harga komoditas meningkat sangat kuat,” ujarnya saat webinar seperti dikutip Rabu (5/5).

Commodity booming merupakan era kejayaan bagi sejumlah komoditas, seperti batu bara, minyak sawit, dan karet. Adapun fenomena kenaikan harga komoditas secara global itu terjadi pada akhir 2009 dan berakhir pada 2014. Kemudian, dampak commodity booming, pertumbuhan Indonesia mencapai 6,5 persen pada 2011 pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sri Mulyani menyebut tantangan pandemi Covid-19 juga ekonomi masih tinggi pada tahun ini dan 2022. Hal ini mengingat tantangan yang dihadapi yakni kasus harian global yang melebihi 800 ribu per hari dibarengi dengan munculnya varian baru.

“Di mana kita harus mengakselerasi ekonomi dan mengembalikan kesehatan APBN yang telah bekerja keras selama dua tahun menghadapi pandemi. Ada pula gelombang baru yang terjadi di beberapa negara, seperti India, Brasil, Cile, Turki, dan beberapa negara Eropa, serta belum meratanya akses vaksin,” ungkapnya.

Baca juga: Masih Resesi, Ekonomi Kuartal I 2021 Minus 0,74 Persen

Selain potensi commodity booming pemerintah juga mengantisipasi faktor eksternal lainnya, yakni lonjakan kasus dan varian baru Covid-19 di sejumlah negara. Adapun kondisi tersebut bisa memicu komplikasi penanganan Covid-19 secara global.

"Pada saat yang sama, meskipun program vaksinasi dimulai ke seluruh dunia, aksesnya tidak merata," katanya.

Sedangkan dari domestik, menurut dia, pemulihan ekonomi masih belum merata antarsektor maupun antardaerah. Hal ini karena semua kondisi itu, baik global maupun domestik, akan memengaruhi desain APBN secara keseluruhan.

"Perubahan kebijakan fiskal dan moneter di negara maju pasti menimbulkan spillover dalam bentuk inflasi, suku bunga global, dan berujung pada nilai tukar rupiah yang mengalami volatilitas serta disparitas pemulihan ekonomi dunia," ucapnya.

Sri Mulyani menyebut kondisi ini harus menjadi perhatian bagi semua pembuat kebijakan, baik di pusat maupun daerah, untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi. Keikutsertaan pemerintah daerah (pemda) dibutuhkan karena sepertiga dana APBN berada di daerah.

"Dari pusat, kami akan menggunakan seluruh kebijakan secara berimbang dari sisi APBN terukur dan terarah, terutama sesudah kami dua tahun berturut-turut menggunakan APBN secara extraordinary. Namun, dari sisi APBD keuangan harus juga turut berpartisipasi mendorong pemulihan ekonomi dan sinkron dengan arah yang dilakukan oleh pemerintah pusat," ungkapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement