REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari, Antara
Lonjakan kasus Covid-19 di India membuat dunia terpana. Rumah sakit yang penuh, keluarga pasien yang mencari oksigen ke mana-mana, hingga krematorium yang tak berhenti membakar jenazah pasien Covid-19 menjadi berita utama dari India.
Kritik pun tertuju pada PM India, Narendra Modi, yang dinilai lebih memperdulikan kampanye pemilihannya dibanding fokus ke masalah kesehatan rakyat India akibat Covid-19. Modi dianggap tidak sensitif. Pemerintahan India menolak untuk membatalkan festival Hindu besar, bahkan pertandingan kriket yang ditonton ribuan orang tetap berjalan.
Pada 17 April lalu, Modi berteriak ke pendukungnya di Bengal Barat. "Saya tidak pernah melihat massa seramai ini. Di mana pun saya menengok saya melihat manusia. Saya tidak bisa melihat hal lain," teriak Modi ke pendukungnya.
Badai kasus Covid-19 di India otomatis mencederai citra politik Modi setelah tahun lalu Modi dipuji-puji karena cepat bergerak mengunci 1,4 miliar penduduk India dalam lockdown. Sekarang dia justru dijuluki sang super spreader oleh Wakil Presiden Asosiasi Medis India, Dr Navjot Dahiya, dikutip dari AP, Rabu (5/5).
Penulis dan aktivis India, Arundhati Roy, cara Modi menangani pandemi di India saat adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. "Pemerintah asing bergerak cepat membantu. Tapi selama pemegang kebijakannya adalah di Modi, dia tidak menunjukkan kemampuannya bekerja dengan pakar atau melihat di luar sesuatu yang menguntungkannya secara politis. Ini sama seperti menuang bantuan ke saringan."
Pemimpin berusia 70 tahun itu dituding memilih politik dibanding kesehatan publik. Ketika jumlah kematian akibat Covid-19 mencapai angka 200 ribu jiwa, jumlah yang dinilai pakar masih di bawah hitungan nyata, Modi tetap diam.
Menteri Informasi dan Penyiaran India, Prakash Javadekar, mengatakan pemerintah melakukan segala upaya untuk mengatasi situasi. Pemerintah pusat disebutnya berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat secara luas.
Modi memenangkan pemilu di 2014. Dia kala itu merepresentasikan dirinya sebagai sosok yang mampu membuka kunci pertumbuhan ekonomi dengan menggabungkan kebijakan yang ramah bagi pebisnis dengan ideologi nasionalis Hindu. Milan Vaishnav, direktur program Asia Selatan di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan ketika virus corona merebak Modi mengambil langkah yang berbeda dengan mantan Presiden Donald Trump dan Presiden Brasil terkini Jair Bolsonaro.
"Dia tidak pernah menyebut virus sebagai hoaks. Dia menghadapinya dengan serius. Dia menganjurkan penggunaan masker, menjaga jarak. Dia mendorong semua pendapat pejabat kesehatan terkait," katanya.
Lockdown yang ketat, yang diberlakukan hanya dalam waktu peringatan empat jam, menyebabkan jutaan pekerja migran berakhir sebagai pengangguran. Mereka terpaksa melarikan diri ke pedesanaan dan sebagian meninggal di jalan. Pakar namun mengatakan keputusan lockdown membantu menangkal virus dan memberi waktu bagi pemerintah.
Kasus di India meningkat ketika lockdown dibuka kembali di Juni 2020. Pemerintah saat itu membangun rencana infrastruktur darurat. Ketika gelombang kasus merendah terus hingga musim dingin, pejabat pemerintah melihatnya sebagai kemenangan.
Negara-negara bagian mulai melucuti rumah sakit lapangan dan upaya menambah tempat tidur ICU dan ventilator ditunda. Sebelumnya padahal pemerintah sudah berencana membangun 162 pabrik oksigen. Rencana yang hingga kini hanya terealisasi sebanyak 38 pabrik. Konon pemerintah masih berencana membangun 105 pabrik oksigen lagi bulan ini.
India dinilai gagal melakukan perbaikan sistem kesehatannya, ujar profesor di Universitas Ashoka, Gautam Menon. "Dengan lonjakan yang kini terjadi kita mengalami konsekuensi dari tidak dilakukannya rencana awal tersebut," katanya.
Saat kasus Covid-19 di India terus menurun di Januari 2021, Modi membanggakan kesuksesan India di World Economic Forum. Ia mengatakan, sudah melakukan aksi menyelamatkan kemanusiaan dari bencana besar dengan efektif menahan laju virus.
Partainya, Partai Bharatiya Janata, menyebut keberhasilan Modi sebagai bentuk kepemimpinan yang visioner. India disebut bangga berhasil melawan virus corona.
Lalu pada pertengahan Maret, ribuan orang menghadiri pertandingan kriket melawan Inggris di Stadium Narendra Modi di Gujarat. Pada 21 Maret, iklan di halaman depan koran menulis 'Indah Bersih Aman' saat Modi dan sekutu politiknya menyambut masyarakat ke kegiatan Kumbh Mela, yang membawa jutaan rakyat India ke Sungai Gangga sepanjang April.
Padahal di Maret 2020, pemerintah Modi menyalahkan pertemuan 3.000 Muslim sebagai penyebab penyebaran Covid-19 di India. Sikap tersebut memicu aksi kekerasan dan boikot, yang bahkan berujung ke pengadilan.
Kritik juga ditujukan ke partai Modi karena menggelar kampanye pemilu dengan ribuan pendukungnya tidak mengenakan masker, terutama di Bengal Barat. Kritik atas berkumpulnya ribuan orang tersebut membuat Modi hanya tampil lewat video. Tapi pendukungnya hadir secara fisik dalam jumlah ribuan orang.
Kritik demi kritik yang masuk membuat pemerintah memerintahkan Twitter menghilangkan unggahan berisi kritik terhadap cara India tangani krisis. Di Uttar Pradesh, seorang pria dituntut setelah bercicit meminta bantuan oksigen bagi kakeknya yang sekarat. Dia dituduh menyebarkan rumor, saat itu seorang pejabat membantah terjadi kekurangan oksigen.
"Menyalahkan media sosial atau penggunanya karena mengkritik atau meminta pertolongan adalah sangat..., maksud saya, apa sih prioritas pemerintah? Membantu rakyat atau membungkam kritik? tanya aktivis digital Nikhil Pahwa.