REPUBLIKA.CO.ID, PARIS—Marlene Schiappa, delegasi Menteri Prancis yang bertanggung jawab atas kewarganegaraan, mengatakan, korban utama kelompok Islam radikal adalah Muslim, dan gerakan radikal ini merupakan penghinaan bagi warga Muslim Prancis yang menjalankan agama mereka dengan damai.
“Tujuan kami adalah untuk memerangi Islam radikal dengan menyediakan alat konkret yang dipilih secara lokal untuk lebih mengontrol pendanaan asing dan hibah untuk asosiasi, dan dengan demikian melawan sarang separatisme. . . kita juga perlu mencegah kaum muda mendaftar ke kelompok radikal melalui media sosial, dan menjadi korban propaganda ISIS,” ujarnya yang dikutip di Arab News, Rabu (5/5).
Dia juga merujuk pada tindakan Islamofobia yang meningkat di Prancis, seperti yang terjadi di Pusat Kebudayaan Islam Avicenna di Rennes yang dinodai dengan kata-kata ofensif terhadap Muslim.
“Seperti yang dikatakan Menteri Dalam Negeri, ini merupakan penghinaan bagi negara. Di Prancis, pada 2021, kami tidak dapat memaafkan tindakan menyinggung jutaan warga tidak bersalah yang tidak memiliki masalah dengan negara tersebut. Ini bukan visi saya tentang Prancis. Saya mengutuk keras tindakan ini, dan saya sangat terkejut dengan tanda yang memalukan ini,” ujarnya.
Berbicara tentang kunjungannya ke Masjid Agung di Paris pada 12 April, dia berkata, “Saya pergi ke masjid untuk bertemu dengan rektor, Tuan Shems-Eddine Hafiz, pada malam Ramadhan. Penting bagi saya untuk mengirim pesan perdamaian dan solidaritas kepada penduduk Muslim Prancis, terutama setelah tanda anti-Muslim keji yang tertulis di situs pusat budaya di Rennes.”
Dia juga mengungkapkan pandangannya tentang jilbab dan mengapresiasi upaya wanita Muslim untuk memerangi kekerasan berbasis gender dan seksual. “Saya ingin menyebutkan bahwa jilbab tidak akan dilarang di ruang publik. Tidak benar untuk mengatakan bahwa pemerintah mengambil posisi seperti itu, yang hanya disukai oleh beberapa senator,” katanya.
“Saya tidak mendukung pelarangan cadar dalam konteks perjalanan sekolah, karena saya dibesarkan di kota di mana sebagian besar ibu mengenakan cadar selama acara ini. Jika kami melarang jilbab, kami secara efektif mengecualikan sejumlah ibu siswa yang merupakan bagian dari negara ini. Ini bukan tujuan saya,” sambungnya.
Gagasan sekularisme berlaku untuk negara dan layanan publik, tetapi tidak untuk masyarakat itu sendiri, itulah sebabnya sekularisme adalah gagasan netralitas yang ditujukan untuk layanan publik, dan merupakan pilihan warga negara, kata dia. Saat ditanya mengenai pandangannya tentang perang melawan Islam radikal di Prancis,
Schiappa berkata, "Kami telah bekerja di lapangan selama tiga tahun, berkat aksi CLIR, komunitas pemberantas Islam Radikal. Sejak 2018, kami telah menutup 559 institusi, dan lebih dari 22 ribu inspeksi telah dilakukan di seluruh wilayah sebagai bagian dari CLIR.”
Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang separatime, yang diduga untuk menakut-nakuti Muslim Prancis, kata Schiappa, sedang dalam proses pengerjaan dengan Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin dan ditujukan untuk memastikan perdamaian bagi Muslim dan seluruh penduduk Prancis.
“Kita harus melawan rasisme dan prasangka, khususnya yang disampaikan oleh gerakan ekstrem kanan di Prancis, dan kita harus selalu ingat bahwa republik ini menjunjung kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan bagi semua warga negara. Sekularisme adalah kebebasan untuk memilih percaya atau tidak, tanpa harus khawatir, dan karena itu melindungi kita,” ujarnya.
“Saya ingin mengucapkan selamat Ramadhan kepada seluruh Muslim. Saya juga ingin menyampaikan pesan bahwa kami merawat mereka, seperti yang kami lakukan dengan semua warga negara yang tinggal di tanah Prancis,” ujar dia.
Sumber: arabnews