REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) angkat suara perihal pemberlakuan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tes tersebut merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
WP KPK memandang TWK tidak terlepas dari konteks pelemahan pemberantasan korupsi yang telah terjadi sejak revisi UU KPK atau UU 19/2019 berlaku. "Hal tersebut mengingat tes ini dapat berfungsi untuk menjadi filter untuk menyingkirkan Pegawai KPK yang berintegritas, profesional serta memiliki posisi strategis dalam penanganan kasus-kasus besar di KPK," kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap dalam keterangannya, Rabu (5/5).
Yudi menekankan, sikap Wadah Pegawai KPK terkait TWK sejak awal tertuang dalam surat Nomor 841 /WP/A/3/2021 yang dikirimkan kepada pimpinan KPK pada 4 Maret 2021, serta penjelasan dalam berbagai forum. Surat tersebut pada pokoknya berisi, pertama, TWK berpotensi menjadi sarana legitimasi untuk menyingkirkan pegawai-pegawai yang menangani kasus strategis atau menempati posisi strategis.
Kedua, TWK yang menjadi ukuran baru untuk lulus maupun tidak lulus melanggar 28 D ayat (2) UUD 1945 mengenai jaminan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan bahkan UU KPK itu sendiri. Karena UU KPK maupun PP 41/2020 terkait pelaksanan alih status tidak mensyaratkan adanya TWK.
"TWK baru muncul dalam peraturan komisi nomor 1 tahun 2021 yang bahkan dalam rapat pembahasan bersama tidak dimunculkan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan siapa pihak internal KPK yang begitu ingin memasukan TWK sebagai suatu kewajiban?" kata Yudi.
Ketiga, lanjut Yudi, TWK tidak sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas karena sejak awal tidak jelas konsekuensinya. Lebih lanjut, menurut Yudi, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan pengalihan status tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.
Hal itu bahkan tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada Selasa (4/5).
Yudi menyebutkan, berkaitan dengan hal tersebut sudah seharusnya Pimpinan KPK sebagai pemimpin lembaga penegakan hukum menjalankan putusan MK secara konsisten dengan tidak menggunakan TWK sebagai ukuran baru dalam proses peralihan yang menyebabkan kerugian hak Pegawai KPK.
"Pemberantasan korupsi tidak bisa dipisahkan dari konteks intsitusi dan aparatur berintegritas dalam pemenuhannya. Segala upaya yang berpotensi menghambat pemberantasan korupsi harus ditolak," tegas Yudi.
Sebelumnya, KPK mengungkapkan 75 pegawai KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Namun, KPK enggan mengungkapkan puluhan nama yang gagal dalam TWK tersebut.
"Untuk 75 nama kami akan sampaikan melalui Sekjen setelah surat keputusan keluar karena kami tidak ingin menebar isu," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/5).
Firli beralasan kalau KPK menjunjung tinggi penegakan hak asasi manusia (HAM). Dia mengaku khawatir pengungkapan nama-nama pegawai yang tidak lolos TWK akan berdampak pada keluarga dan lingkungan sekitar pegawai tersebut.
Dalam kesempatan itu, Firli sekaligus menepis pemecatan terhadap 75 nama-nama yang tidak lolos TWK. Komisaris Jenderal Polisi itu mengatakan, KPK hingga hari ini belum memiliki niatan untuk memecat para pegawai yang gagal dalam TWK dimaksud.
Seperti diketahui, berdasarkan informasi ada sejumlah pegawai KPK yang harus dipecat karena tidak lolos TWK. Mereka yang diberhentikan termasuk penyidik senior, Novel Baswedan, sejumlah kepala satuan tugas, pengurus inti wadah pegawai KPK, serta pegawai KPK yang berintegritas dan berprestasi lainnya.
Dalam tes tersebut, muncul sejumlah soal yang dinilai janggal karena tidak berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Di antara pertanyaan yang muncul, yakni pandangan pegawai seputar Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab, HTI, kepercayaan Tionghoa, doa qunut dalam sholat, hingga LGBT.