REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Amnesty International dan lebih dari 200 organisasi non-pemerintah lainnya telah menyerukan embargo senjata global terhadap Myanmar, Rabu (5/5). Desakan ini muncul akibat tindakan keras yang terus berlanjut oleh militer terhadap pengunjuk rasa setelah kudeta pada Februari.
"Sudah waktunya bagi Dewan Keamanan PBB untuk menggunakan kekuatan spesialnya untuk memberlakukan embargo senjata global yang komprehensif untuk mencoba dan mengakhiri pembunuhan besar-besaran militer," ujar Advokat senior PBB untuk Amnesty International, Lawrence Moss, dikutip dari Aljazirah pada Rabu (5/5).
Moss mengatakan kecaman yang sudah diberikan oleh komunitas internasional sejauh ini tidak berpengaruh. Mereka meminta Inggris sebagai konseptor teks Myanmar yang ditunjuk Dewan Keamanan (DK) PBB untuk segera membuka negosiasi di lembaga itu tentang rancangan resolusi yang mengesahkan embargo senjata.
"Tidak ada pemerintah yang boleh menjual satu peluru pun ke junta dalam keadaan seperti ini. Menerapkan embargo senjata global ke Myanmar adalah langkah minimum yang diperlukan Dewan Keamanan untuk menanggapi kekerasan militer yang meningkat," ujar Moss.
Seruan itu menggemakan deklarasi 24 Februari oleh lebih dari 100 organisasi non-pemerintah. Mereka mendesak DK PBB bertindak cepat untuk menghentikan aliran senjata ke pemerintah militer.
DK PBB telah mengeluarkan beberapa pernyataan sejak kudeta, menyerukan militer untuk memulihkan demokrasi dan menghentikan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa. Namun, kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa waktu untuk memberikan pernyataan telah berlalu.
"Dewan Keamanan harus membawa konsensusnya tentang Myanmar ke tingkat yang baru dan menyetujui tindakan segera dan substantif. Embargo senjata akan menjadi inti dari upaya global untuk melindungi rakyat Myanmar dari kekejaman lebih lanjut dan membantu mengakhiri impunitas atas kejahatan di bawah hukum internasional," kata kelompok itu.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Peristiwa ini memicu pemberontakan massal dengan protes harian dan boikot nasional dari pegawai negeri.
Sejauh ini, hampir 770 orang telah meninggal dalam tindakan keras mematikan dan lebih dari 4.500 orang telah dipenjara. Pemerintah militer telah melaporkan jumlah kematian yang jauh lebih rendah yang dituduhkan pada perusuh.