REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Jepang menyatakan keprihatinan besar terhadap upaya sepihak China yang ingin mengubah status quo di Laut Cina Timur (LCT) serta di Laut Cina Selatan (LCS). Keprihatinan tersebut disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi pada pertemuan para menteri luar negeri Kelompok Tujuh (G7) yang sedang berlangsung di ibu kota Inggris, London.
Laut China Selatan memiliki kekayaan sumber daya alam. Sengketa Laut China Selatan menjadi penyebab kekhawatiran di antara negara-negara yang berbatasan dengan China. Beijing mengklaim sebagian besar yurisdiksi maritimnya di perairan itu.
Kyodo News melaporkan, Pasukan Bela Diri Jepang (SDF) mulai menyediakan peralatan penyelamat jiwa untuk Angkatan Bersenjata Filipina (PAF). Ini adalah pertama kalinya Jepang menawarkan peralatan SDF kepada angkatan bersenjata asing, di bawah bantuan pembangunan resminya. Langkah itu dilakukan di tengah ketegangan hubungan antara Filipina dan China di Laut Cina Selatan.
Jepang akan mengirimkan alat bantuan bencana, termasuk jackhammers, sonar, dan pemotong mesin ke PAF. Personel SDF juga akan melatih unit PAF untuk menggunakan peralatan tersebut.
"Kami berharap pemberian bantuan tersebut akan memperdalam hubungan bilateral dengan mitra regional yang secara strategis penting," kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Jepang yang tidak disebutkan namanya.
Selain menyoroti situasi di Laut China Selatan, Motegi juga menyinggung tindakan Beijing terhadap Muslim Uighur di Xinjiang. Motegi mengatakan, Jepang prihatin dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Beijing terhadap Muslim Uyghur di provinsi Xinjiang barat laut serta situasi di Hong Kong.
Kelompok G-7, yang meliputi Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS, serta UE, juga membahas situasi di Myanmar. Demonstrasi anti-kudeta merebak di Myanmar setelah militer mengambilalih pemerintahan sipil pada 1 Februari.