REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritisi kinerja Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo jelang 100 hari masa kerjanya. Kontras mendapati komitmen Listyo soal penegakan hak asasi manusia ternyata tak sesuai penerapannya di lapangan.
"Secara umum, kami melihat tidak adanya perubahan signifikan dalam memperbaiki kinerja institusi Korps Bhayangkara," kata peneliti KontraS, Rozy Brilian dalam konferensi pers virtual, Kamis (6/5).
Rozky menemukan institusi Polri tidak menunjukkan itikad ke arah lebih baik di bawah kepemimpinan Listyo. Bahkan ia menyinggung Polri yang tidak menghapuskan budaya kekerasan. "Hal ini bertolak belakang dengan tagline yang diusung, yaitu prediktif, responsibilitas, dan transparan berkeadilan (Presisi)," tutur Rozy.
Rozy juga menilai Polri menggunakan alasan pandemi Covid-19 sebagai usaha pembungkaman demokrasi dan pembatasan hak asasi. Misalnya aksi unjuk rasa yang kerap dibubarkan dengan dalih menghindari kerumunan. "Kekerasan virtual dan nyata dilegitimasi oleh negara akibat pembiaran kewenangan polisi tanpa ada parameter yang jelas," ujar Rozy.
Selain itu, Rozy menyampaikan kekecewaan terkait oknum polisi yang melakukan kekerasan hanya dikenakan sanksi etik. Menurutnya, hal itu terjadi karena pengawasan di kepolisian tidak berjalan tegas. "Tidak ada upaya kuat pengawasan internal dan eksternal. Kadiv Propam saja pernah minta maaf ke Kapolri padahal harusnya ke publik karena kekerasan yang dirasakan oleh publik," ucap Rozy.