REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI dari fraksi PAN, Sarifuddin Sudding meminta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjunjung tinggi transparansi. Dia menuntut, KPK terbuka mengenai tes wawasan kebangsaan (TWK).
Sudding menyampaikan, KPK patut membuka tabir yang menyelubungi TWK ke hadapan publik. Tujuannya, mengklarifikasi asumsi negatif publik mengenai TWK.
"Prosesnya harus dilakukan secara transparan sehingga masyarakat tidak berspekulasi atas adanya tes wawasan kebangsaan terhadap para pegawai KPK," kata Sudding kepada Republika, Kamis (6/5).
Sudding mendukung, agar KPK memiliki pegawai terbaik demi menyelamatkan Indonesia dari masalah korupsi. Oleh karena itu, ia tak menolak adanya tes terhadap pegawai KPK, asalkan dilakukan secara transparan. Hal ini guna mencegah prasangka tes digunakan untuk menjegal sebagian pegawai KPK.
"Kita berharap bahwa kawan-kawan di KPK adalah orang-orang yang memiliki dedikasi dan integritas dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi dan karenanya proses dan tahapan dari tes itu harus disampaikan ke publik agar tidak ada kesan ada upaya untuk menjegal orang-orang tertentu di KPK," ujar Sudding.
Sudding juga menganjurkan KPK segera mengumumkan hasil TWK sekaligus menjelaskan alasan tidak meluluskan sebagian pegawai. "Kalaupun ada yg dinyatakan tidak lulus, pihak KPK pun harus menyampaikan secara terbuka serta alasan-alasan ketidaklulusan mereka," ucap Sudding.
KPK telah mengumumkan hasil TWK 1.351 pegawainya yang dilakukan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Adapun yang memenuhi syarat (MS) sebanyak 1.274 orang, tidak memenuhi syarat (TMS) sebanyak 75 orang, dan yang tidak hadir wawancara dua orang.
Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) Yudi Purnomo Harahap menilai TWK menjadi sarana menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas dan profesional. Sejak awal sikap WP KPK terkait dengan TWK jelas tertuang dalam surat yang dikirimkan kepada pimpinan KPK pada 4 Maret 2021 Nomor 841 /WP/A/3/2021 serta penjelasan dalam berbagai forum.
"Bahwa TWK berpotensi menjadi sarana legitimasi untuk menyingkirkan pegawai-pegawai yang menangani kasus strategis atau menempati posisi strategis," kata Yudi.