Kamis 06 May 2021 22:22 WIB

Larangan Mudik Kemungkinan Percuma, 3T Perlu Digencarkan

Masih banyak masyarakat yang curi start atau nekat tetap mudik.

Sejumlah penumpang menunggu kedatangan kereta api lokal Bandung Raya di Stasiun Bandung, Kota Bandung, Kamis (6/5). PT KAI Daop 2 Bandung memberhentikan layanan perjalanan Kereta Api jarak jauh untuk mudik pada penerapan larangan mudik lebaran sejak Kamis (6/5) hingga Senin (17/5) serta melakukan pembatasan operasional kereta lokal dengan mengurangi jadwal perjalanan menjadi 39 perjalanan dan membatasi jam operasional. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Sejumlah penumpang menunggu kedatangan kereta api lokal Bandung Raya di Stasiun Bandung, Kota Bandung, Kamis (6/5). PT KAI Daop 2 Bandung memberhentikan layanan perjalanan Kereta Api jarak jauh untuk mudik pada penerapan larangan mudik lebaran sejak Kamis (6/5) hingga Senin (17/5) serta melakukan pembatasan operasional kereta lokal dengan mengurangi jadwal perjalanan menjadi 39 perjalanan dan membatasi jam operasional. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Fauziah Mursid, Dessy Suciati Saputri

Larangan mudik lebaran 2021 selama 6 hingga 17 Mei resmi berlaku mulai hari ini, Kamis (6/5). Kendati demikian, Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Windhu Purnomo menilai kebijakan ini percuma karena sebelumnya terjadi peristiwa-peristiwa  kerumunan dan akhirnya memunculkan klaster.

Baca Juga

"Percuma mudik dilarang selama 6-17 Mei, ini tidak akan menekan banyak kasus (Covid-19)," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (6/5).

Windhu melanjutkan, jika pemerintah ingin menekan mobilitas masyarakat seharusnya melarang mudik sejak awal. Namun, faktanya pemerintah hanya melakukan pengetatan perjalanan sebelum tanggal 6 Mei dan setelah tanggal 17 Mei.

"Harusnya kalau pemerintah mau sungguh-sungguh seharusnya sejak awal tidak boleh ada perjalanan," ujarnya.

Whindu juga mengkritik pemerintah yang kerap bersikap ambigu dan tidak sinkron dalam pengambilan kebijakan. Ia menyontohkan, diperbolehkannya tempat wisata dibuka selama masa libur Lebaran dan pengecualian larangan mudik di delapan wilayah anglomerasi.

Ketidaksinkronan kebijakan pemerintah itu tercermin dari munculnya banyak kerumunan sebelum mudik dilarang.

"Terbukti sudah muncul klaster-klaster di banyak tempat kan, ada klaster tarawih, klaster buka bersama, klaster mudik di Pati," katanya.

Jika upaya pelacakan dilakukan dengan optimal, Windhu menduga akan lebih banyak klaster baru. Sayangnya, dia melanjutkan, upaya pelacakan yang dilakukan pemerintah sangat lemah belakangan ini.

Selain itu, ia juga menyoroti kapasitas testing yang rendah. Tak heran, jika kasus Covid-19 yang dilaporkan belakangan tidak banyak dan kemungkinan tidak sesuai dengan realita penularan Covid-19 di lapangan.

"Semoga kerumunan yang sudah terlanjur terjadi tidak meningkatkan kasus penularan karena itu baru bisa dilihat 10-14 hari kemudian, itupun kalau testing kita bagus. Tapi tentu saya tidak berharap (ada peningkatan kasus)," ujarnya.

Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan 3T atau pelacakan kontak (contact tracing), pengujian (testing), dan perawatan (treatment). Tujuannya, untuk menemukan lebih banyak kasus Covid-19.

"Jumlah kasus menurun seolah-olah karena jumlah pelacakan kontak menurun jauh, kemudian jumlah tesnya menurun, sehingga harus hati-hati disikapi penurunan yang semu ini berbahaya, pemerintah saya anjurkan untuk tidak membiarkan kesan menurun ini, jadi harusnya meningkatkan pelacakan kontak dan pengujian," kata Yunis, Kamis.

Yunis menyarankan harus tetap waspada, karena penurunan kasus saat ini hanya bersifat semu. Jika dilakukan lebih banyak pelacakan kontak dan pengujian, bahkan terhadap orang tanpa gejala, kemungkinan akan lebih banyak kasus terungkap.

"Kalau OTG diperiksa kemudian kasus yang lain pelacakan kontak kasusnya akan lebih banyak lagi," tuturnya.

Yunis menuturkan, saat ini penularan Covid-19 di masyarakat masih tinggi, sehingga harus benar-benar waspada untuk mengantisipasi agar tidak ada lonjakan kasus signifikan yang tidak diinginkan di masa akan datang. Apalagi, dengan masuknya varian baru virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 ke Tanah Air, tentu itu menjadi perhatian, sehingga pengurutan genom virus menyeluruh harus makin luas dan masif dilakukan di Indonesia.

Dengan demikian, bisa dipetakan sebaran virus dan intervensi kesehatan yang tepat dan cepat dalam merespons keadaan yang terjadi. Pada kondisi saat ini, kewaspadaan harus terus ditingkatkan dan protokol kesehatan harus selalu disiplin dilakukan.

Penegakan hukum juga harus dilaksanakan dengan ketat dan tegas agar masyarakat tidak lengah, melainkan tetap mewaspadai penularan Covid-19 serta senantiasa menerapkan protokol kesehatan.

In Picture: Pos Penyekatan Pemudik di Pintu Masuk Kota Bandung

photo
Petugas gabungan melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi pengendara saat penyekatan larangan mudik lebaran di Gerbang Tol Pasteur, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/5/2021). Pemerintah Jawa Barat telah menyiapkan 158 titik penyekatan yang didukung oleh petugas gabungan untuk menghalau masyarakat yang nekat mudik Idul fitri 1422 Hijriah meski tetap mengizinkan warga melakukan pergerakan antarkota penyangga selama masa larangan mudik atau dalam koridor aglomerasi.. - (Antara/Novrian Arbi)

 

 

Adapun, Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap mendukung larangan mudik selama periode 6-17 Mei 2021. IDI tetap yakin, kebijakan larangan mudik tetap bisa mengurangi kerumunan.

"Kami sangat yakin kebijakan melarang mudik ini bisa sangat menekan kasus Covid-19. Kenapa? Karena itu akan mengurangi munculnya kerumunan, baik di transportasi, kemudian saat berkumpul di kampung," kata Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih saat dihubungi Republika, Kamis (6/5).

Daeng tidak menampik mungkin masih ada masyarakat yang memaksakan diri untuk pulang kampung. Tetapi, PB IDI menilai secara keseluruhan, larangan mudik bisa tetap mengurangi laju kemungkinan berkerumun dan risiko tertular virus inu.

"Daripada loss (dibiarkan) semua maka kerumunan akan terjadi," katanya.

Menurut Daeng, lonjakan kasus Covid-19 akan mulai terlihat dua pekan setelah arus mudik dan arus balik Lebaran selesai. Oleh karena itu, PB IDI meminta pemerintah meningkatkan kapasitas testing, setidaknya hingga selama sebulan setelah lebaran. Sebab, semakin banyak pengetesan maka semakin banyak yang bisa terungkap terinfeksi virus ini.

Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo pada Rabu (5/5), mengungkapkan, meski kebijakan larangan mudik ditetapkan Pemerintah, masih ada 7 persen dari penduduk Indonesia yang tetap nekat ingin mudik. Doni mengingatkan, pejabat maupun pemangku kepentingan di tingkat pusat, daerah, desa maupun kelurahan terus mengimbau masyarakat agar tidak mudik.

"Tujuh persen dari 270 juta sangat besar, 18,9 juta orang, tugas kita mengurangi angka ini sekecil mungkin," kata Doni.

Masyarakat kata Doni, harus diberi kesadaran jika mudik sangat berpotensi menimbulkan penularan virus Covid-19 dari kota ke desa-desa. Ia khawatir hal ini bisa mengakibatkan lonjakan kasus Covid -19 di Tanah Air, di tengag tren kasus aktif Covid-19 saat ini yang mulai turun.

"Mari bersabar, menahan diri, karena kalau ini kita biarkan sangat pasti terjadi penularan oleh mereka yang datang dari luar, dan di kampung dan tiap daerah belum tentu memiliki rumah sakit yang memadai dan dokter yang merawat, akibatnya mereka yg terpapar menjadi fatal dan mengakibatkan kematian," ujar Doni.

Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan, agar masyarakat tak memaksakan diri untuk melakukan mudik menjelang hari raya Idulfitri. Satgas meminta masyarakat agar mematuhi kebijakan ini karena seluruh wilayah perbatasan telah dijaga oleh pihak kepolisian dan masyarakat.

“Pihak kepolisian berhak memerintahkan masyarakat berputar balik, maka dari itu, saya minta agar masyarakat jangan memaksakan diri untuk mencoba mudik,” kata Wiku saat konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (6/5).

Wiku menegaskan, kebijakan ini diberlakukan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari potensi penularan Covid-19. Selain peniadaan mudik, pemerintah melalui Kemendagri juga telah mengeluarkan Surat Edaran tentang pelarangan buka puasa bersama pada bulan Ramadhan dan juga kegiatan open house atau halal bi halal pada hari raya Idul Fitri nanti.

Aturan ini diterbitkan untuk mencegah terjadinya penularan dan lonjakan kasus Covid-19 di berbagai daerah. Wiku pun meminta agar seluruh pimpinan daerah agar menindaklanjuti Surat Edaran tersebut sehingga kemunculan kasus baru dapat ditekan.

“Melalui surat edaran ini, Mendagri meminta kepada gubernur atau wali kota, bupati untuk melarang kegiatan buka puasa bersama yang melebihi jumlah keluarga inti ditambah 5 orang, dan menginstruksikan kepada seluruh ASN di rumah untuk tidak melaksanakan open house atau halal bi halal dalam rangka hari raya Idulfitri,” jelas dia.

Wiku hari ini menyoroti tren kenaikan kasus aktif di lima provinsi yang juga telah melebihi persentase kasus aktif di tingkat nasional. Menurut Wiku, tren kenaikan kasus di lima provinsi ini telah terjadi selama empat minggu terakhir.

Kelima provinsi tersebut, yakni Riau, Kepulauan Riau, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, dan juga Sulawesi Tengah.

“Lima provinsi ini menjadi perhatian karena tidak hanya kasus aktifnya yang mengalami tren kenaikan, tetapi juga angkanya melebihi persen kasus aktif nasional,” kata Wiku.

 

photo
Skenario Penyekatan Pemudik di Kota Malang - (ANTARA)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement