REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa tes wawasan kebangsaan (TWK) dilakukan guna mengukur penguatan integritas dan netralitas ASN. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, tes tidak dilakukan guna mengukur kompetensi para pegawai lembaga antirasuah.
"Adapun mengenai aspek kompetensi, perlu kami tegaskan kembali, pegawai KPK pada saat rekrutmen awal sudah memenuhi persyaratan kompetensi dan integritas sehingga aspek ini tidak dilakukan tes kembali," kata Ali Fikri di Jakarta, Jumat (7/5).
Ali mengungkapkan, KPK telah menerima informasi dari pegawai terkait adanya beberapa pertanyaan yang perlu dijawab semisal berkaitan dengan tata cara beribadah dan pilihan hidup berkeluarga. KPK mengaku juga telah menerima masukan dari publik yang mempertanyakan relevansi beberapa materi dalam wawancara yang tidak berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi KPK.
"Dan ini menurut kami bisa menjadi masukan bagi penyelenggara asesmen," katanya.
Ali mengatakan bahwa penyelenggara tes tersebut adalah Badan Kepegawaian Negara (BKN). BKN kemudian melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS-TNI) Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat (Pusintel TNI AD) Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat (DISPSIAD) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melaksanakan TWK tersebut.
"Dalam penyelenggaraan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan, Komisi Pemberantasan Korupsi bukan merupakan penyelenggara asesmen," katanya.
Ali mengatakan, semua alat tes berupa soal dan materi wawancara disusun oleh BKN bersama lembaga-lembaga tersebut. Dia menjelaskan, sebelum melaksanakan wawancara telah dilakukan penyamaan persepsi dengan pewawancara dari beberapa lembaga tersebut.
"Dalam pelaksanaan wawancara ada pertanyaan yang dikembangkan dari tes tertulis yang sudah berlangsung sebelumnya," katanya.
Meski tidak mengukur kompetensi namun pada kenyataannya TWK tersebut tidak meloloskan 75 pegawai KPK. Salah satu diantaranya adalah penyidik senior, Novel Baswedan serta sejumlah kepala satuan tugas, pengurus inti wadah pegawai KPK serta pegawai KPK yang berintegritas dan berprestasi lainnya.
Dalam tes tersebut muncul sejumlah soal yang dinilai janggal lantaran tidak berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Diantara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar FPI, Muhammad Rizieq Shihab, HTI, alasan belum menikah, kesediaan menjadi istri kedua, doa qunut dalam shalat hingga LGBT.
Wadah Pegawai (WP) KPK lantas menilai bahwa tes tersebut menjadi filter untuk menyingkirkan pegawai yang berintegritas, profesional serta memiliki posisi strategis dalam penanganan kasus-kasus besar di KPK. Tes juga dinilai tidak sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas karena sejak awal tidak jelas konsekuensinya.
"TWK berpotensi menjadi sarana legitimasi untuk menyingkirkan Pegawai-pegawai yang menangani kasus strategis atau menempati posisi strategis," kata Ketua WP KPK, Yudi Purnomo.
Dia mengatakan TWK yang menjadi ukuran baru untuk lulus maupun tidak lulus telah melanggar 28 D ayat (2) UUD 1945, UU KPK maupun PP nomor 14 tahun 2020 terkait pelaksanaan alih status tidak mensyaratkan adanya TWK. Dia melanjutkan, tes itu baru ada dalam peraturan komisi nomor 1 tahun 2021 yang bahkan dalam rapat pembahasan bersama tidak dimunculkan.
"Hal tersebut menimbulkan pertanyaan siapa pihak internal KPK yang begitu ingin memasukan TWK sebagai suatu kewajiban?" katanya.