REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebetulnya adakah ciri orang yang mendapat malam yang lebih mulia dari seribu bulan yaitu Lailatul Qadar? Jika ada, apa saja ciri-cirinya?
Pengajar Ma'had Daarussunnah Bekasi, Ustadz Muhammad Azizan Syahrial Lc menyampaikan, tidak ada nash hadits atau sabda Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang telah mendapat lailatul qadar.
"Sebenarnya tidak ada teks hadits yang menerangkan ciri orang yang mendapat lailatul qadar. Tetapi memang ada kaidah umum yang telah disepakati jumhur ulama tentang ciri orang yang diterima ibadahnya," tuturnya kepada Republika.co.id, Jumat (7/5).
Alumnus LIPIA Jakarta itu menjelaskan, jumhur ulama bersepakat, seorang Muslim yang diterima ibadahnya maka ia senantiasa meningkatkan amal ibadahnya. "Tandanya diberikan taufik untuk memproduksi ibadah-ibadah selanjutnya yang lain, artinya tidak berhenti di situ," tutur dia.
Ustadz Azizan menambahkan, mereka yang diterima ibadahnya terus meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya sehingga menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. "Ketika ibadahnya diterima, maka ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya dari sisi kualitas dan kuantitas ibadah," jelasnya.
Ustadz Azizan juga mengungkapkan, tidak ada riwayat tentang pahala besar bagi orang yang beriktikaf di 10 hari terakhir Ramadhan. Namun, Rasulullah SAW selama hidupnya tidak pernah meninggalkan aktivitas tersebut. "Dan ini menunjukkan keutamaan iktikaf di 10 hari terakhir pada Ramadhan," kata pria yang tengah menempuh pendidikan magister di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Dalam hadis riwayat Muttafaqun 'Alaih dari jalur Aisyah, disebutkan bahwa Rasulullah SAW beriktikaf di 10 hari terakhir pada Ramadhan sampai beliau wafat, lalu kegiatan iktikaf itu dilanjutkan oleh istri-istri beliau. Bahkan di tahun wafatnya, beliau beriktikaf di 20 hari terakhir Ramadhan. (HR. Bukhori, no. 2040)
Ustadz Azizan kembali memaparkan, iktikaf pada dasarnya di masjid, sehingga tidaklah dianggap iktikaf kecuali di dalam masjid. Ini menjadi ijma para ulama berlandaskan firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 187, "Dan janganlah kalian berhubungan dengan istri-istri kalian, sedangkan kalian dalam keadaan beriktikaf di masjid".