Politisi PDIP Desak Pancasila Diajarkan di Sekolah-Kampus
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Anggota DPR RI Komisi X dari Fraksi PDIP, My Esti Wijayati. | Foto: Republika/Putra M. Akbar
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pendidikan Pancasila sejak era reformasi 1998 tidak lagi menjadi lagi menjadi bahan ingatan publik apalagi menjadi diskursus publik. Bahkan pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam pembahasan kurikulum tidak ada kewajiban adanya pemberian pendidikan Pancasila.
Absennya mata pelajaran Pancasila pada anak-anak usia sekolah dari tingkat PAUD, SD, SMP, hingga SMA termasuk tiadanya mata kuliah pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi disinyalir menjadi penyebab menurunya jumlah masyarakat yang pro Pancasila.
"Mengutip hasil Survei Lingkaran Survei Indonesia, terjadi penurunan hingga 10 persen jumlah masyarakat Indonesia yang pro Pancasila dari tahun 2005 hingga 2018. Penurunan ini tidak boleh dianggap sepele ataupun diabaikan," kata Anggota Komisi X DPR RI dalam Kongres V Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan My Esti Wijayati yang berlangsung di ruang Balai Senat UGM, Jumat (7/5).
Menurut hemat Esti Wijayati, penurunan jumlah masyarakat Indonesia yang pro Pancasila disebabkan akibat tidak adanya lagi pemberian mata pelajaran Pancasila di sekolah dan lingkungan kampus yang diganti dengan pendidikan kewarganegaraan. "Saya harap ada dukungan penuh dari kampus dalam pembuatan peta jalan pendidikan yang akan selesai tahun 2021 ini serta perubahan UU sisdiknas tidak hanya soal kurikulum, namun soal dosen dan guru yang selama ini tumpang tindih dengan UU lainnya," kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pendidikan nasional kita saat ini dihadapkan pada tantangan serius dengan lahirnya PP Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan ini mendapat reaksi keras dari masyarakat karena menghilangkan Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib. "Mispersepsi ini segera diluruskan oleh pemerintah," katanya.
Ia menyarankan agar tidak terjadi hal semacam ini, setiap ada peraturan pemerintah perlu dilakukan pencermatan dan tingkat partisipasi publik. Selain merevisi PP tersebut ia sepakat revisi UU No 20 tahun 2003 sebagai payung rujukan PP yang menjadi turunannya. Apalagi UU sisdiknas hanya memuat nomenklatur Pendidikan Kewarganegaraan bukan pendidikan Pancasila.
Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Rektor UGM Prof Sofian Effendi yang menyebutkan selama 18 tahun belakangan ini sejak UU Nomor 20 tahun 2003 telah menyebabkan dihapusnya pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib. "Banyak sekolah tidak lagi mengajarkan Pancasila. Akibatnya, hasil survei Alvara Research Group tahun 2018 menyebutkan sekitar 19 persen ASN yang menyatakan anti pancasila. Bahkan Menteri Pertahanan tahun 2019 menyebutkan 23,4 persen mahasiswa Indonesia terpapar radikalisme anti pancasila dan UUD 1945," katanya.
Soal revisi PP dan revisi UU Sisdiknas, Sofian Effendi mengingatkan pentingnya kampus untuk selalu memberikan masukan dan memberi kritikan ke pemerintah untuk kepentingan pendidikan nasional. "Jika ada kesalahan kebijakan dari pemerintah kita, kampus harus menegur dan mengingatkan demi kepentingan nasional," katanya.
Selain menjadikan pendidikan Pancasila tidak hanya menjadi mata pelajaran wajib di Sekolah dan mata kuliah wajib di Kampus namun kajian teologis tentang pancasila menjadi jadi filsafat keilmuan sangat mendesak dilakukan. "Mudah-mudahan PSP UGM dan Fakultas Filsafat bisa mengarah ke sana. Yang diajarkan bukan saja teori teori hukum, politik, ekonomi tapi teori itu berdasarkan dari sila Pancasila," katanya.
Ia mencontohkan teori ekonomi pancasila yang dipelopori Prof Mubyarto dan Prof Sri Edi Swasono sebelumnya bisa dikembangkan lebih lanjut kembali sehingga peserta didik mendapat ajaran soal ekonomi Pancasila. "Jangan sampai akhirnya yang diajarkan adalah teori ekonomi barat," katanya.
Sejarawan Anhar Gonggong menuturkan Pancasila sejak masa kemerdekaan selalu jadi permainan oleh para pemain politik. Pancasila menurutnya lebih banyak diperbicarakan daripada diamalkan. Bahkan pascareformasi, orang-orang tampaknya malu bicara Pancasila. "Kenapa itu terjadi? karena memang sepanjang diberlakukan sebagai dasar negara, selalu saja Pancasila dijadikan sekedar alat politik untuk kepentingan kekuasaan bukan untuk rakyat," paparnya.
Ia sepakat bahwa perlu adanya suatu konsensus dalam sistem pendidikan nasional yang menetapkan Pancasila sebagai pegangan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. "Itu tantangan kita sampai sekarang," ujarnya.