REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait larangan pewajiban/pelarangan atribut keagamaan pada seragam sekolah. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih mengatatakan, bahwa putusan MA tersebut menjadi pelajaran bagi pemerintah.
"Ini jadi pelajaran dan mengingatkan bagi pemerintah pusat bahwa pendidikan itu sesuai UU 23/2014 adalah urusan yang sudah desentralisasikan secara kongkuren. Silakan ngatur yang urusannya. Jangan otoritas yang sudah diserahkan ke daerah malah mau disentralisasikan lagi," kata Fikri kepada Republika, Sabtu (8/5).
Politikus PKS itu mengatakan, dalam urusan pendidikan tidak bisa diberlakukan satu kebijakan untuk semua. Pemerintah dalam membuat kebijakan diharapkan dapat menghargai setiap keragaman kebijakan masing-masing daerah.
"Seragam itu hanya salah satu contoh saja. Mestinya secara substasial kurikulum pun biarkan masing-masing mengisi sesuai kewenangannya. SMA/K dan pendidikan layanan khusus biar pemprov punya inisiatif masing-masing sesuai potensi wilayahnya. Kabupaten Kota biar mengembangkan inovasi pendidikan di SMP, SD, TK dan PAUD," jelasnya.
Fikri menambahkan, begitu juga dalam menyikapi pandemi dan Pendidikan Tatap Muka (PTM) di tahun ajaran baru ini. Pemerintah pusat diminta menyerahkan kepada pemerintah daerah untuk berembug dengan semua pemangku kepentingan pendidikan untuk menentukan sendiri apakah PTM mau dilaksanakan pada Juni mendatang.
"Sehingga kebijakan itu adalah produk mereka secara bersama bukan instruksi dari atas (pusat)," tuturnya.
Fikri meminta agar hal ini jadi momentum untuk evaluasi menyeluruh di Kemendikbud. Menurutnya beberapa produk hukum yang diterbitkan menimbulkan keresahan di kalangan pemangku kepentingan pendidikan di lapangan.