Sabtu 08 May 2021 22:13 WIB

"Pegawai Tetap KPK Dites, Perbantuan dari Kepolisian tidak"

Terungkap, tes wawasan kebangsaan menyasar pegawai atau pejabat senior di KPK.

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono.
Foto: Ist
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Antara

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono telah 16 tahun mengabdi untuk pemberantasan korupsi. Kini, setelah mengetahui bahwa dirinya di antara pegawai yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), Giri mengaku dirinya tidak diinginkan lagi oleh KPK untuk melanjutkan upaya pemberantasan korupsi.

Baca Juga

"Saya berkeyakinan hasil tes itu tidak signifikan dan kami-kami ini memang tidak diinginkan melanjutkan pemberantasan korupsi di negeri ini," kata Giri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (8/5).

TWK menjadi syarat bagi para pegawai KPK untuk beralih dari pegawai independen menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tes tersebut pada akhirnya mengeliminasi 75 pegawai KPK seperti Novel Baswedan, sejumlah kepala satuan tugas, pengurus inti wadah pegawai KPK serta pegawai KPK yang berintegritas dan berprestasi lainnya.

Giri mengatakan, puluhan pegawai dengan status tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes tersebut telah 16 tahun bekerja di KPK. Dari 75 nama, yang dinyatakan tidak memenuhi syarat, antara lain dirinya, kemudian Kepala Biro SDM, termasuk Deputi Koordinasi Supervisi KPK.

"Termasuk Novel Baswedan kurang lebih begitu," kata Giri.

Sebagian besar yang tidak memenuhi syarat itu, kata dia, untuk pejabat eselonnya ada delapan orang, satu orang pejabat eselon I (Deputi Koordinasi Supervisi KPK), tiga pejabat eselon II, Kepala Biro SDM dan Direktur Pembinaan Jaringan Antarkomisi. Berikutnya, untuk eselon III, yakni Kabag Perancangan Perundang-undangan, Kabag SDM, dan beberapa nama lainnya.

"Sebenarnya yang menarik adalah hampir semua kasatgas yang berasal dari KPK, tujuh kasatgas penyidikan dan dua kasatgas penyelidikan juga merupakan bagian dari 75 itu tadi," kata Giri Suprapdiono.

Selain itu, nama-nama seluruh pengurus inti dari Wadah Pegawai KPK, lanjut dia, juga termasuk dalam 75 nama yang tidak lolos TWK tersebut. "Pegawai tetap yang dites, sementara pegawai yang diperbantukan dari kepolisian dan pegawai negeri yang diperbantukan dari kementerian lain tidak dites. Jadi, pegawai tetap, misalnya polisi yang mengundurkan diri dan memutuskan menjadi pegawai KPK dites kembali," ujarnya.

Secara pribadi, Giri mengaku pernah mendapatkan penghargaan dari LAN sebagai peserta diklat tim terbaik, bersama direktur seluruh lembaga serta makarti nagari award.

"Ini kontradiksi luar biasa, saya seangkatan dengan Pak Johan Budi saya membantu di Deputi Pencegahan, tentu Pak Johan memahami kontribusi. Tapi dalam tes ini seakan kami tak berkompeten tak penuhi syarat, tentu ini perlu dipertanyakan," katanya.

Seperti diketahui, dalam tes tersebut muncul sejumlah soal yang dinilai janggal lantaran tidak berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Di antara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar FPI, Muhammad Rizieq Shihab, HTI, alasan belum menikah, kesediaan menjadi istri kedua, doa qunut dalam shalat hingga LGBT.

Terkait soal atau pertanyaan pada TWK yang janggal, diakui juga oleh Giri. Menurutnya, ada seorang pegawai perempuan yang ditanyakan kesediaannya untuk melepas jilbab. Dia melanjutkan, pegawai tersebut akan dicap egois jika tidak bersedia melepas jilbab untuk kepentingan negara.

"Ini keterlaluan menurut saya. Pegawai yang cerai, lama jomblo kenapa enggak nikah, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mengenai wawasan kebangsaan. Jadi kecintaan kami pada republik ini dipertanyakan lagi. Kami menyelamatkan republik ini dari korupsi, kenapa dipertanyakan lagi?" katanya.

Mantan Juri Bicara KPK yang kini menjadi anggota Komisi III DPR RI Johan Budi SP, mengatakan pemberhentian pegawai KPK tidak bisa berdasarkan alih status kepegawaian seperti yang mencuat saat ini.

"Memberhentikan pegawai KPK itu basisnya undang-undang, jadi bukan alih status," kata Johan Budi dalam diskusi yang sama.

Dalam undang-undang, lanjut dia, pegawai KPK yang bisa diberhentikan, misalnya karena melanggar kode etik berat, melakukan tindak pidana, meninggal dunia, atau mengundurkan diri. "Itu kalau kita bicara di dalam aturannya. Jadi, tidak dikarenakan oleh alih status, apalagi alih status ini berdampak pada pemberhentian sebagai pegawai KPK atau tidak, itu adalah dasarnya peraturan komisi, saya yakin peraturan komisi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang," katanya.

Menurut Johan Budi, 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK yang terancam pemecatan itu baru berasal dari pemberitaan. Bahkan, menurut Johan Budi, dia melihat pernyataan yang disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri soal nasib 75 pegawai yang tidak lulus TWK lebih pada tidak diberhentikan.

"Dalam kaitan alih status ini, saya tidak bicara apakah ada penyingkiran atau tidak, tetapi secara logika alih status itu akibat konsekuensi logis dari revisi Undang-Undang KPK, jadi ini perintah undang-undang," katanya menegaskan.

Badan Kepegawaian Nasional (BKN) mengakui bahwa, TWK yang dilakukan terhadap pegawai KPK ini berbeda dengan tes bagi CPNS. BKN mengatakan, CPNS adalah entry level sehingga soal-soal TWK yang diberikan berupa pertanyaan terhadap pemahaman akan wawasan kebangsaan

"Sedangkan TWK bagi pegawai KPK ini dilakukan terhadap mereka yang sudah menduduki jabatan senior (Deputi, Direktur/Kepala Biro, Kepala Bagian, Penyidik Utama, dll) sehingga diperlukan jenis tes yang berbeda yang dapat mengukur tingkat keyakinan dan keterlibatan mereka dalam proses berbangsa dan bernegara," kata Plt Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama BKN, Paryono dalam keterangan, Sabtu (8/5).

Dia menjelaskan, BKN menggunakan metode Assessment Center yang juga dikenal sebagai multi-metode dan multi-asesor dalam melaksanakan asesmen TWK pegawai KPK menjadi ASN. Dia melanjutkan, hal tersebut juga untuk menjaga independensi.

Menurut Paryono, multi-metode atau penggunaan lebih dari satu alat ukur dalam asesmen ini dilakukan dengan tes tertulis Indeks Moderasi Bernegara dan Integritas (IMB-68), penilaiaan rekam jejak (profiling) dan wawancara. Sedangkan, multi-asesor dalam asesmen ini asesor yang dilibatkan tidak hanya berasal dari BKN namun melibatkan asesor dari instansi lain yang telah memiliki pengalaman dan yang selama ini bekerja sama dengan BKN dalam mengembangkan alat ukur tes wawasan kebangsaan seperti Dinas Psikologi TNI AD, BNPT, BAIS dan Pusat Intelijen TNI AD.

Paryono melanjutkan, dalam setiap tahapan proses asesmen ini juga dilakukan observasi oleh tim yang anggotanya tidak hanya berasal dari BKN akan tetapi juga dari Instansi lain seperti BAIS, BNPT, Pusat

Intelijen TNI AD, Dinas Psikologi TNI AD dan BIN. Hal ini, sambung dia, dilakukan untuk menjaga objektivitas hasil penilaian dan untuk mencegah adanya intervensi dalam penilaian dan dalam penentuan hasil penilaian akhir dilakukan melalui Assessor Meeting.

"Oleh karena itu, metode ini menjamin bahwa tidak ada satu orang asesor pun atau instansi yang terlibat yang bisa menentukan nilai secara mutlak sehingga independensinya tetap terjaga. Dalam pelaksanaan asesmen juga dilakukan perekaman baik secara video maupun audio untuk memastikan bahwa pelaksanaan asesmen dilakukan secara objektif, transparan dan akuntabel," katanya.

Sebelumnya, pada Rabu (5/5), pimpinan KPK memerinci, ada 1.351 pegawai KPK yang mengikuti TWK. Hasilnya, pegawai KPK yang memenuhi syarat (MS) sebanyak 1.274 orang, tidak memenuhi syarat (TMS) sebanyak 75 orang, dan pegawai yang tidak hadir wawancara sebanyak dua orang.

 

photo

KPK - (republika/mgrol100)

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement