Sabtu 08 May 2021 23:21 WIB

Melihat Cara Katedral Jakarta Wujudkan Komitmen Merawat Bumi

Komitmen Gereja Katedral Jakarta merawat Bumi cukup Tinggi

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Katedral Jakarta
Katedral Jakarta

Baru-baru ini Gereja Katedral Jakarta menerima penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai gereja katolik pertama di Indonesia yang menggunakan panel surya untuk kebutuhan energi listrik di seluruh kompleksnya pada siang hari.

Bagaimana perjalanan Katedral Jakarta kemudian sampai pada inovasi penggunaan panel surya dan sejauh apa sebenarnya peran gereja dalam merawat Bumi dan pelestarian lingkungan? DW mewawancarai Pastor Kepala Paroki Gereja Katedral Jakarta, Romo Hani Rudi Hartoko, SJ.

DW Indonesia: Bagaimana awalnya gagasan penggunan panel surya ini muncul?

Romo Hani Rudi Hartoko: Jadi ide ini berawal dari sebuah obrolan tentang bagaimana kita setelah 5 tahun ingin memperingati Ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si' tentang bagaimana merawat Bumi rumah kita bersama dengan berbagai macam gerakan-gerakan. Kita sudah mulai 5 tahun belakangan itu dengan gerakan untuk mengelola sampah dengan baik, mengurangi penggunaan plastik, styrofoam, dst. Itu sudah berjalan.

Lalu muncul dalam pembicaraan, apa yang kira-kira kita bisa buat lagi? Lalu muncullah ide bagaimana kalau kita mencoba atau mencari informasi tentang penggunaan energi surya (panel surya), mengingat di Indonesia ini kita dikaruniai Tuhan dengan energi surya yang melimpah, sementara belum dimanfaatkan dengan baik.

Dari obrolan itu, lalu dengan teman-teman juga beberapa donator, di tahap pertama kita memasang panel listrik dilaksanakan oleh Solar Kita sebesar 29,7 KWP. Itu bulan November 2020 sudah operasional.

Kemudian di tahap kedua dikerjakan oleh PT. KAS Green Energy sebesar 208,32 KWP. Jadi totalnya kurang lebih 238,02 KWP. Itu kalau dibuat sebuah perbandingan itu kurang lebih setara dengan 183 unit rumah masing-masing 1.300 Watt. Jadi hampir 1 RT.

Jadi seluruh kompleks Katedral pada siang hari, seluruh energinya ditanggung oleh panel tenaga surya mulai diresmikan kemarin pada 9 Januari 2021. Dan kalau dari segi [jumlah] panelnya, kira-kira itu 512 panel, masing-masing panel itu berdaya 465 WP.

Apa saja keuntungan yang sudah dirasakan setelah menggunakan panel surya ini dibanding sebelumnya?

Ya memang ini masih dalam tahap awal, tetapi dari pengalaman tahap pertama dan dalam proposal yang disampaikan, itu hitung-hitungannya kurang lebih akan menghemat paling tidak 25% dari biaya listrik. Jadi tagihan listrik itu ada naik turun.

Dan untuk kita sendiri, dari pengalaman kita, kita sudah mengalami penurunan rekening listrik kurang lebih 25-30%. Ini fluktuatif ya, tergantung juga energi yang dihasilkan setiap hari.

Tapi yang paling penting bagi kami adalah ini jadi bagian dari komitmen kita, ingin ikut serta menanggapi seruan dari Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si' itu untuk merawat Bumi rumah kita bersama.

Kita ingin mempromosikan juga dan mendorong penggunaan energi yang bersih, energi ramah lingkungan dan energi terbarukan. Dengan demikian, kita juga ikut mengurangi dampak dari emisi karbon maupun efek rumah kaca. Itu saya kira yang jauh lebih penting, dan semoga juga dengan cara ini, tempat-tempat ibadah lain juga bisa mengaplikasikan. Saya kira ini suatu hal yang baik karena sekali lagi, energi yang Tuhan berikan itu melimpah hanya memang butuh komitmen, butuh teknologi, butuh usaha kita sungguh-sungguh untuk memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, semaksimal mungkin.

Apa lagi rencana Gereja Katedral Jakarta ke depan terkait komitmen merawat Bumi dan pelestarian lingkungan?

Ya usaha-usaha kecil, misalnya pertama adalah kita juga memproses air sehingga bisa tersedia beberapa dispenser untuk umat bisa minum. Maka kita juga mengurangi penggunaan botol. Orang boleh bawa tumbler sendiri. Rapat-rapat kita usahakan bawa tumbler sendiri, minumnya diisi sendiri.

Yang kedua, kita mempromosikan juga menggunakan tas-tas yang bisa dipakai untuk tas belanja. Jadi umat kita berikan tas itu supaya bisa memberi contoh, silahkan dipakai untuk Anda belanja, untuk Anda apa saja, kan sekarang juga kemana-mana, Anda ke mini market, Anda belanja kemana saja tidak ada lagi plastik. Jadi kita juga membuat tas ekologis untuk dibagikan kepada umat sebagai contoh, tapi ya kalau mau tambah lagi silahkan beli. Tapi kita berikan setiap keluarga. Jadi itu langkah-langkah kecil.

Berikutnya juga, ini masih [rencana] ke depan ya, kita akan mengolah air, supaya air hujan yang masuk ke tempat kita itu kita bisa tampung, kita bisa resapkan, sehingga kita tidak langsung buang. Harapannya air yang masuk ke komplek, bisa kita kelola dengan sebaik-baiknya, termasuk ke depan memang pengelolaan air limbah itu juga perlu untuk diolah secara baik sehingga sedapat mungkin bisa digunakan kembali, minimal untuk penyiraman toilet, ataupun juga untuk menyirami tanaman pada waktu musim kemarau.

Hal lain yang masih di dalam [rencana], yaitu ketahanan pangan. Bagaimana orang melalui medium, entah itu pot, atau hidroponik, dll untuk menanam minimal sayur-sayuran atau pangan-pangan yang bisa diusahakan di keluarga kita, di halaman lahan kita, sesempit apapun itu.

Ini memang masih belum digarap secara sungguh-sungguh tapi kita akan berusaha. Dan moga-moga kalau memang itu bisa digerakkan dan bisa terwujud, suatu ketika misalnya saya sendiri sudah berpikir kalau situasi sudah normal, hari minggu itu boleh menjadi pasar itu silahkan tanaman hasil Anda boleh dibawa, Anda juga boleh saling mendukung atau saling membeli.

Sejauh apa sebenarnya peran gereja untuk bisa ikut serta dalam pelestarian lingkungan?

Bagi saya situasi COVID-19 ini jadi pesan yang sangat penting bagi kita untuk tidak memaknai ini sebagai hukuman Tuhan, itu terlalu jauh. Ini adalah undangan bagi kita tentang apa yang bisa kita buat sehingga dunia kita menjadi bersih. Karena di tengah wabah ini kita diajari untuk beberapa hal, seperti mencuci tangan. Semuanya itu untuk budaya bersih.

Dalam beberapa kesempatan ketika di awal-awal pandemi, saya mengatakan kepada umat agar jangan terserah, itu artinya kita tidak mau peduli. Jangan menyerah, itu artinya kita tidak ada upaya-upaya. Tapi yang kita pakai adalah gerakan BerSeRah: Bersih, Sehat, Ramah Lingkungan.

Kita bisa melihat misalnya langit Jakarta suatu ketika sangat cerah, sangat bersih, itu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ketika semua mesin produksi berhenti karena pandemi ini. Ketika banyak kendaraan-kendaraan juga berhenti karena pembatasan, kita bisa menikmati bahwa alam ini menjadi begitu indah juga.

Pandemi ini tentu memprihatinkan kita semua, tapi dengan upaya kita masing-masing dengan cuci tangan, jaga jarak, pakai masker itu bagian kita semua untuk ikut merawat kebersamaan, kebaikan bersama.

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Prihardani Ganda Tuah Purba dan telah diedit sesuai konteks.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement