REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Pakar utama PBB soal hak asasi manusia di Myanmar menyambut baik seruan organisasi masyarakat sipil pada Jumat (7/5) untuk memberlakukan embargo senjata pada junta militer dan mendorong negara-negara lain untuk segera mengambil tindakan.
"Menghentikan aliran senjata dan teknologi senjata ke tangan junta militer Myanmar benar-benar masalah hidup dan mati," kata Pelapor Khusus PBB untuk masalah Myanmar Tom Andrews.
Dia memuji lebih dari 200 organisasi yang telah menggelar kampanye untuk menghentikan penggunaan senjata oleh junta, yang mengambil alih negara itu dalam kudeta pada 1 Februari. Langkah tersebut menjadi perhatian Dewan Keamanan PBB.
"Saya mendesak pemerintah yang mendukung pemotongan aliran senjata ke junta militer yang brutal untuk segera menetapkan embargo senjata mereka sendiri terhadap Myanmar sekaligus mendorong tindakan Dewan Keamanan PBB," kata Andrews.
"Embargo senjata harus mencakup senjata dan teknologi penggunaan ganda, termasuk peralatan pengawasan," kata dia.
Dalam laporan pada Maret untuk Dewan Hak Asasi Manusia, Andrews mengidentifikasi negara-negara yang telah menetapkan embargo senjata terhadap Myanmar.
“Selain itu, saya mendesak organisasi dan lembaga yang telah menyerukan tindakan Dewan Keamanan PBB untuk mendesak pemerintah memberlakukan embargo senjata mereka sendiri secara bersamaan,” kata Andrews.