Senin 10 May 2021 21:45 WIB

LIPI: Selesaikan Konflik Papua dengan Pendekatan Dialogis 

Pendekatan dialogis harus dilakukan secara inklusif, dan komprehensif.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Peta Papua. Ilustrasi.
Foto: Google Maps
Peta Papua. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, merekomendasikan pendekatan dialogis untuk menyelesaikan konflik di Papua. Pendekatan dialogis harus dilakukan secara inklusif, komprehensif, membahas agenda bersama, serta memiliki legitimasi dan komitmen yang kuat dari para pihak. 

"Kami merekomendasikan bahwa pendekatan dialogis harus dilakukan secara inklusif, secara komprehensif, kemudian membahas agenda bersama, memiliki legitimasi dan komitmen yang kuat dari para pihak," ujar Cahyo dalam simposium nasional Universitas Indonesia yang disiarkan daring, Senin (10/5). 

Baca Juga

Dia mengatakan, ada empat akar persoalan mendasar yang dikaji atas riset yang telah dilakukan selama empat sampai lima tahun yang dituangkan dalam Papua Roadmap. Riset ini dibiayai pemerintah melalui perintah wakil presiden dari 2004-2008. 

Akar persoalan konflik Papua yang pertama ialah mengenai sejarah dan status politik. Cahyo menjelaskan, ada penafsiran yang muncul di kalangan intelektual Papua dan akuntan pajak Papua bahwa mereka merasakan imajinasi telah merdeka di masa lalu karena mempunyai bendera bintang kejora yang dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Tanah Papua.

"Jadi ini ada masalah sejarah yang perlu diselesaikan melalui dialog," kata dia. 

Kedua, masalah kekerasan politik dan berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM. Kekerasan politik itu tidak hanya berlangsung saat ini, tetapi juga sejak 1965 ketika terjadi konflik antara relawan Papoea Vrijwilligers Corps (PVK) dan Batalyon 741 di Arfai, Manokwari.

Kemudian, ada dampak-dampak dari operasi militer seperti operasi sadar, operasi tegas, operasi wibawa, serta berbagai macam kekerasan politik lainnya di Papua. Belum lagi berbagai laporan dari berbagai pihak seperti Amnesty International Indonesia yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM di Papua pada 2010-2018. 

Selain itu, masih kuatnya memoria passionis atau ingatan-ingatan yang tidak tertuliskan secara kolektif tentang sejarah penderitaan orang Papua. Contohnya orang Wamena yang memiliki ingatan terhadap saudaranya yang digantung aparat di salah satu pohon atau orang Biak yang mempunyai ingatan atas saudaranya yang dibunuh aparat di pantai. 

"Ingatan-ingatan itu kalau dituliskan banyak sekali dan ada ribuan halaman saya kira," kata Cahyo. 

Akar persoalan Papua yang ketiga adalah kesetaraan pembangunan. Keempat yakni marjinalisasi dan diskriminasi terjadap orang asli Papua. Selanjutnya, Cahyo mengatakan, ada pembaruan Papua Roadmap pada 2017. 

Konflik Papua pun dikategorikan menjadi tiga yakni pihak-pihak yang pro-NKRI atau kelompok biru, kelompok tengah, dan kelompok merah. Sepanjang 2017 dari hasil penelitian 2015, makin banyak kelompok tengah yang bergerak ke kelompok merah. 

Dalam kelompok merah itu banyak pergerakan politik dari berbagai macam organisasi yang berbau gerakan separatisme. Lalu adanya transformasi dari gerakan bersenjata menjadi gerakan sipil politik setelah tahun 2000. 

"ULWMP (Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua) adalah salah satu kelompok yang signifikan untuk diajak sebagai peserta dialog secara politik," tutur Cahyo. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement