REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menjadi saksi ahli di sidang lanjutan perkaran kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS). Dalam persidangan, Refly mengaku heran mengapa pemerintah menolak pendaftaran dan perpanjangan surat keterangan terdaftar (SKT) ormas seperti Front Pembela Islam (FPI).
"(Padahal) itu bagian tugas pemerintah dan agar tertib administrasi sehingga pemerintah bisa mudah melakukan kontrol apabila ormas itu melanggar hukum,’’ kata dia di ruang sidang PN Jakarta Timur, Senin (10/5).
Menurut Refly, hal itu juga tercantum di UU No 17 tahun 2013 tentang keormasan. Sekalipun sebuah ormas tidak pernah terdaftar, kata Refly, mereka tetap bisa melakukan kegiatan selama tidak bertentangan dengan hukum dan konstitusi.
"Ahli bingung kenapa organisasi itu dibubarkan, kecuali ada vonis pengadilan, sudah dijatuhkan sanksi atau lainnya. Ini hanya SKT tidak diperpanjang (dibubarkan),’’ kata dia.
Dia menilai, suatu posisi di pemerintahan memang terbukti telah mengakhiri ormas dan organisasi di Indonesia sejak lama, contohnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, jika alasannya hanya karena pencabutan SKT, maka cara tersebut dinilainya tidak bisa diterapkan. Sementara, pemerintah dulu membubarkan PKI setelah berbagai tindak pidana, seperti pembunuhan sejumlah jenderal.
"Memang ini membingungkan, karena harus jelas apa alasannya ormas itu dibubarkan,’’ ungkap dia.
Pemerintah telah membubarkan FPI melalui Surat Keputusan Bersama enam menteri dan kepala lembaga yang diumumkan 30 Desember 2020 silam. Dari SKB tersebut, FPI dilarang berkegiatan, termasuk menggunakan simbol serta atribut organisasi yang dimilikinya.
Dijelaskan, ada enam alasan pemerintah membubarkan ormas tersebut. Mulai dari FPI yang secara de jure diklaim sudah bubar sejak 21 Juni 2019 karena tidak memiliki SKT, 35 pengurus FPI yang pernah bergabung dan diduga terlibat tindak pidana terorisme, hingga pelanggaran hukum pengurus dan anggota yang kerap melakukan razia hingga sweeping.