REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – "Nafas Terakhir Kaum Muslim" adalah nama yang diberikan untuk jalur pegunungan di Kota Granada, Spanyol. Legenda Spanyol mengatakan bahwa koridor ini memiliki nilai sejarah, dan ceritanya menjadi inspirasi bagi para sastrawan dan bahkan penyair.
Cerita ini dramatis dan bahkan puitis. Di tempat ini, menurut legenda, Abu Abdullah Al Sagheer mengucapkan selamat tinggal pada negaranya dan negara leluhurnya, Granada setelah kejatuhannya.
Legenda menceritakan bahwa Abu Abdullah Al Sagheer, raja Muslim terakhir Granada menandatangani perjanjian penyerahan dengan Ferdinand II dan Isabella yang Pertama. Setelah itu, Abu Abdullah mendekati Ferdinand sambil duduk di kursi, dan menyerahkan kunci Istana Alhambra.
Legenda melanjutkan narasinya tentang peristiwa kepergian Abu Abdullah bersama keluarga dan uangnya dari Granada. Pada bagian puitisnya, Abu Abdullah berbalik dan menatap sedih negara leluhurnya yang telah runtuh.
Hal ini menginspirasi para penulis dan seniman Spanyol, dan beberapa lukisan. Bagian itu diberi nama " El Puerto del Suspiro del Moro", yang diterjemahkan sebagai "nafas terakhir kaum Muslim."
Namun, mitos tentang puisi dan dramanya ini tampaknya tidak nyata. Fakta sejarah mengatakan bahwa penyebutan pertama kejadian ini terjadi sekitar 1526 ketika Uskup Antonio de Guevara memberi tahu Kaisar Carlos the Fifth bahwa kisah ini diceritakan lebih dari 30 tahun setelah jatuhnya Granada.
Uskup ini juga menerima banyak kritik dari sejarawan, karena tidak disebutkan di sebagian besar sumber sejarah Islam. Tampaknya mitos yang dibangun uskup ini telah berkembang dari waktu ke waktu, menjadi wilayah yang dikenal sebagai "nafas terakhir umat Islam" di Spanyol kontemporer.
Apakah Abu Abdullah Al Sagheer begitu lemah?