Selasa 11 May 2021 13:06 WIB

Epidemiolog: Tes Acak Pemudik tidak Bisa Jadi Rujukan

Epidemiolog UGM menyebut data tes acak pemudik belum tunjukkan angka sebenarnya

Pemudik sepeda motor terjebak kemacetan saat melintasi posko penyekatan mudik di Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (10/5/2021). Petugas gabungan memutar balikan ribuan pemudik yang melintasi pos penyekatan perbatasan Bekasi -Karawang, Jawa Barat. Ketua Komite Penanganan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartarto, menyampaikan pemerintah melakukan tes acak ke 6.742 pemudik di pos penyekatan. Didapat 4.123 pemudik atau 60 persen lebih terkonfirmasi positif.
Foto: ANTARA/Wahyu Putro A
Pemudik sepeda motor terjebak kemacetan saat melintasi posko penyekatan mudik di Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (10/5/2021). Petugas gabungan memutar balikan ribuan pemudik yang melintasi pos penyekatan perbatasan Bekasi -Karawang, Jawa Barat. Ketua Komite Penanganan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartarto, menyampaikan pemerintah melakukan tes acak ke 6.742 pemudik di pos penyekatan. Didapat 4.123 pemudik atau 60 persen lebih terkonfirmasi positif.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Komite Penanganan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartarto, menyampaikan pemerintah melakukan tes acak ke 6.742 pemudik di pos penyekatan. Didapat 4.123 pemudik atau 60 persen lebih terkonfirmasi positif.

Epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama mengatakan, data itu belum dapat tunjukkan gambaran angka sebenarnya sebab perlu kaidah yang benar dalam mengambil sampel. Lalu, tes dilakukan acak dan tidak disebut alat tes deteksi covid yang digunakan.

Kalaupun tes acak memakai tes rapid Antigen, swab PCR atau Genose C19, maka angka konfirmasi positif sebesar itu menunjukkan hal yang cukup mengkhawatirkan. Namun, tidak bisa jadi dasar menyebut secara keseluruhan gambaran pemudik yang terpapar.

"Untuk mencapai gambaran sebenarnya perlu sistematika pengambilan sampel acak yang sesuai kaidah," kata Bayu, Selasa (11/5).

Meski begitu, Bayu mengaku sepakat kebijakan pelarangan mudik yang dilakukan dalam rangka antisipasi gelombang kedua pandemi dan kekhawatiran naiknya kasus covid-19 seperti di India. Walaupun, tetap ada saja warga yang mudik atau menerobos pos.

"Pelarangan mudik susah dilakukan apalagi tanpa penjelasan dan komunikasi yang bagus dari pemerintah. Misalnya, kenapa mudik dilarang tapi berwisata boleh?" ujar Bayu.

Bagi warga yang telanjur mudik, Bayu menyarankan agar dilakukan pengetatan di wilayah tujuan. Ia berpendapat, setiap pemudik harus dilaksanakan tes covid-19 sebanyak dua kali saat kedatangan dan dikarantina terlebih dulu.

Selanjutnya, dilakukan penguatan sistem surveilans dan monitoring kasus masing-masing wilayah, terutama sampai tingkat RT/RW. Bila sudah dilakukan deteksi dini dan diisolasi dengan cepat kasus yang muncul, sehingga bisa ditekan penyebarannya.

"Intinya, jika memungkinkan semua pemudik yang kembali pulang dikarantina dulu lima hari dan dites dua kali," kata Bayu.

Tapi, yang tidak kalah penting, pelaporan tingkat RT/RW harus bagus untuk mencatat siapa saja pemudik yang datang sampai dengan kontak dan alamat asal untuk dilapor ke satgas daerah. Tujuannya, untuk mempermudah kontak tracing jika terjadi kasus.

Meski ada larangan mudik, sosialisasi memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan mencuci tangan tetap menjadi kunci utama penanggulangan penyebaran. Yang mana, di masing masing individu akan pentingnya mengenai pengetatan prokes.

"Oleh karena itu, edukasi tetap menjadi bagian yang penting dalam pencegahan covid dan sebaiknya perlu dibuat seragam dari pusat sampai daerah karena sampai saat ini masih belum seragam," ujar Bayu. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement