Rabu 12 May 2021 00:06 WIB

Novel Beberkan Pertanyaan-Pertanyaan Bermasalah TWK

Novel Baswedan menjadi satu dari 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK.

Penyidik senior KPK Novel Baswedan menunggu giliran untuk vaksinasi Covid-19 di Gedung Penunjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (23/2). Pemberian vaksin Covid-19 tersebut sebagai upaya percepatan pengendalian dan berkelanjutan Covid-19 di lingkungan KPK. Pemberian vaksin dilakukan terhadap seluruh insan KPK, termasuk para tahanan, jurnalis dan pihak eksternal lain yang berada di lingkungan KPK. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penyidik senior KPK Novel Baswedan menunggu giliran untuk vaksinasi Covid-19 di Gedung Penunjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (23/2). Pemberian vaksin Covid-19 tersebut sebagai upaya percepatan pengendalian dan berkelanjutan Covid-19 di lingkungan KPK. Pemberian vaksin dilakukan terhadap seluruh insan KPK, termasuk para tahanan, jurnalis dan pihak eksternal lain yang berada di lingkungan KPK. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengungkapkan pertanyaan dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) banyak yang bermasalah. Novel menjadi satu dari 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK.

"Berkaitan TWK yang digunakan untuk menyingkirkan 75 pegawai terbaik KPK tersebut sangatlah bermasalah. Hal tersebut karena TWK digunakan untuk menyeleksi pegawai KPK yang telah berbuat nyata bagi bangsa dan negara Indonesia melawan musuh negara yang bernama korupsi, bukan baru hanya berwawasan saja," kata Novel dalam keterangannya, diterima di Jakarta, Selasa (11/5).

Baca Juga

Sebagai pegawai yang disebut tidak lulus TWK, Novel mengaku masih ingat dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Ia pun mencontohkan beberapa pertanyaan yang dinilai bermasalah dalam TWK tersebut.

"Apakah saudara setuju dengan kebijakan pemerintah tentang kebijakan tarif dasar listrik (TDL)?" Novel pun menjawab, "Saya merasa tidak ahli bidang politik dan ekonomi dan tentunya karena adalah penyidik tindak pidana korupsi, saya lebih tertarik untuk melihat tentang banyaknya dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan listrik negara dan inefisiensi yang menjadi beban bagi tarif listrik".

Pertanyaan selanjutnya, "Bila anda menjadi ASN, lalu bertugas sebagai penyidik, apa sikap Anda ketika dalam penanganan perkara diintervensi, seperti dilarang memanggil saksi tertentu dan sebagainya?" Ia mengaku manjawab, "Dalam melakukan penyidikan tidak boleh dihalangi atau dirintangi, karena perbuatan tersebut adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sebagai seorang ASN, saya tentu terikat dengan ketentuan Pasal 108 ayat 3 KUHAP, yang intinya pegawai negeri dalam melaksanakan tugas mengetahui adanya dugaan tindak pidana wajib untuk melaporkan sehingga respons saya akan mengikuti perintah Undang-Undang, yaitu melaporkan bila ada yang melakukan intervensi".

Kemudian, ia mengaku juga diberi pertanyaan "Apakah ada kebijakan pemerintah yang merugikan Anda?" "Saya jawab kurang lebih seperti ini, sebagai pribadi saya tidak merasa ada yang dirugikan tetapi sebagai seorang warga negara saya merasa dirugikan terhadap beberapa kebijakan pemerintah, yaitu di antaranya adalah UU No. 19/2019 yang melemahkan KPK dan ada beberapa UU lain yang saya sampaikan," ucapnya.

Ia menyampaikan demikian karena dalam pelaksanaan tugasnya di KPK sebagai seorang penyidik. "Hal itu saya sampaikan karena dalam pelaksanaan tugas di KPK saya mengetahui beberapa fakta terkait dengan adanya permainan/pengaturan dengan melibatkan pemodal (orang yang berkepentingan), yang memberikan sejumlah uang kepada pejabat tertentu untuk bisa meloloskan kebijakan tertentu. Walaupun ketika itu belum ditemukan bukti yang memenuhi standar pembuktian untuk dilakukan penangkapan tetapi fakta-fakta tersebut cukup untuk menjadi keyakinan sebagai sebuah pengetahuan," tuturnya.

Menurut dia, bila menjawab semua kebijakan yang diambil pemerintah baik, maka hal tersebut bertentangan dengan norma integritas. "Sebaliknya, bila dijawab bahwa semua kebijakan adalah baik dan saya setuju, justru hal tersebut adalah tidak jujur yang bertentangan dengan norma integritas," kata dia.

"Kita tentu memahami bahwa pemerintah selalu bermaksud baik, tetapi faktanya dalam proses pembuatan kebijakan atau UU seringkali ada pihak tertentu yang memanfaatkan dan menyusupkan kepentingan sendiri atau orang lain hal itu dilakukan dengan sejumlah imbalan (praktik suap) yang akhirnya kebijakan atau output UU tersebut merugikan kepentingan negara dan menguntungkan pihak pemodal (pemberi uang yang berkepentingan)," lanjutnya.

Dengan demikian, ia menilai pertanyaan-pertanyaan dalam TWK itu tidak cocok digunakan untuk menyeleksi pegawai negara/aparatur yang telah bekerja lama. Terutama, yang bertugas bidang pengawasan terhadap aparatur atau penegak hukum, apalagi terhadap pegawai KPK.

"Pegawai-pegawai KPK tersebut telah menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja menangani kasus-kasus korupsi besar yang menggerogoti negara, baik keuangan negara, kekayaan negara, dan hak masyarakat. Hal itu semua merugikan negara dan masyarakat," ujar Novel.

Ia mengatakan, TWK akan relevan bila digunakan untuk seleksi calon pegawai dari sumber fresh graduate. Namun, menuruntya, juga tidak dibenarkan menggunakan pertanyaan yang menyerang privasi, kehormatan atau kebebasan beragama.

"Dengan demikian menyatakan tidak lulus TWK terhadap 75 pegawai KPK yang kritis adalah kesimpulan yang sembrono dan sulit untuk dipahami sebagai kepentingan negara. Sekali lagi, saya ingin tegaskan bahwa tes TWK bukan seperti tes masuk seleksi tertentu yang itu bisa dipandang sebagai standar baku. Terlebih, ternyata pertanyaan-pertanyaan dalam tes TWK banyak yang bermasalah," ujar Novel.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement