REPUBLIKA.CO.ID, YANGON--Warga Kota Mindat mengatakan angkatan bersenjata Myanmar bertempur melawan milisi bersenjata setempat di barat laut kota itu. Tentara berusaha memberantas pemberontak yang menentang kudeta junta militer bulan Februari lalu.
Pertempuran di Mindat, Negara Bagian Chin menunjukkan kekacauan di Myanmar. Sejak menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang dipilih dengan sah setiap hari junta militer menghadapi unjuk rasa, mogok kerja dan serangan sabotase.
Sejak Kamis (13/5) lalu junta memberlakukan jam malam di Mindat dan mulai meningkatkan serangan terhadap kelompok yang mereka sebut 'teroris bersenjata. Juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon untuk dimintai komentar.
Warga mengatakan pertempuran terjadi pada Sabtu (15/5) ini. "Ada tentara di mana-mana," kata seorang pria.
Dalam sebuah rekaman video yang diambil seorang warga setempat dan dibagikan di media sosial terlihat helikopter bersenjata menembakan sebuah roket. Video tersebut belum dapat diverifikasi secara mandiri.
Kantor berita Irrawaddy melaporkan sejumlah rumah hancur saat tentara kembali melepaskan tembakan artileri. "Kami hidup dalam mimpi buruk, Mindat benar-benar menjadi zona perang," kata seorang warga berusia 32 tahun yang hanya beritahu namanya Mang.
"Mereka menggunakan artileri berat, peluru mortir terhadap kami, kami tidak bisa melawan itu, kami kehabisan amunisi dan kami mengorbankan semuanya, saya pikir ada kemungkinan kami dibantai, kami mencoba sebaik mungkin untuk membela diri tapi kami mungkin tidak bisa bertahan lebih lama," tambahnya.
Saat ini Myanmar sudah memiliki sekitar dua puluh kelompok etnis bersenjata yang berperang melawan tentara yang didominasi etnis Bamar selama puluhan tahun. Chinland Defence Force dibentuk untuk menanggapi kudeta.
Myanmar News Agency yang dikuasai junta militer melaporkan pertempuran Rabu (12/5) dan Kamis (13/5) di Mindat melibatkan sekitar 100 orang. Orang-orang itu menyerang sebuah pos polisi dan mengincar sekitar 50 Myanmar Economic Bank.
Seorang anggota parlemen mengatakan pertempuran pecah setelah militer menolak membebaskan tujuh pemuda yang ditahan pihak berwenang. Jumlah korban jiwa belum diketahui.
Organisasi aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) melaporkan hingga Jumat kemarin korban tewas dalam gejolak politik yang dipicu kudeta militer 1 Februari lalu sudah mencapai 788 orang. Militer membantah jumlah tersebut dan membatasi lalu lintas informasi, kebebasan pers dan internet.