Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ginara Gemilentika

Penulisan Berita Kasus Kekerasan Seksual: Antara Kualitas atau Jumlah Tiras

Eduaksi | Monday, 17 May 2021, 16:40 WIB
Ilustrasi Surat Kabar Kekerasan Seksual oleh Zhalika Lekazima

Ironis, kasus kekerasan seksual semakin gencar disuarakan hingga saat ini, bahkan pelaporan tindakan keji ini terjadi setiap harinya. Dilansir dari Suara.com, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa setiap dua jam sekali setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Kasus seperti ini kemudian menjadi sangat rumit, baik wanita maupun pria pun bisa merasakan dampaknya. Keduanya bisa menjadi korban, maupun pelaku.

Media sebagai alat yang berfungsi sebagai sarana informasi masyarakat kemudian berkewajiban memberitakan ketidakadilan tersebut. Media memiliki peranan yang penting untuk bisa memenuhi tujuan sejatinya, people right to know, people right to inform. Namun, pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual tak pernah menjadi perkara yang mudah. Selalu ada perdebatan dalam pemberitaannya.

Sebut saja pada pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual di salah satu kampus bergengsi di Indonesia. Pemberitaan yang dipublikasikan oleh sebuah pers mahasiswa, Balairung, menjadi pembicaraan yang hangat karena berhasil membagi masyarakat menjadi dua kubu. Kubu yang mendukung penjelasan secara rinci mengenai kronologis peristiwa kasus kekerasan seksual dan kubu yang mengutuknya.

Berita yang dimuat oleh Balairung menggambarkan kronologi kasus kekerasan seksual dengan sangat rinci, menggunakan sudut pandang penyintas yang diberi nama samaran Agni dan menuliskan beberapa informasi pribadinya. Meski begitu, pihak Balairung memberikan kepastian bahwa yang mereka beritakan sudah melalui persetujuan Agni melalui draft berita yang dikirim kepadanya sebelum berita tersebut dipublikasikan.

Dilansir dari artikel Remotivi, kedua kubu ini terbentuk dengan idealismenya masing-masing terhadap pemberitaan yang menurut mereka pantas untuk diberitakan. Golongan masyarakat yang mendukung pemberitaan kasus Agni secara rinci agar informasi yang tersampaikan jelas dan memberikan gambaran yang jelas seberapa keji perbuatan sang pelaku serta bagaimana seharusnya pelaku mendapatkan hukuman yang pantas. Namun golongan lainnya merasa bahwa menceritakan kronologis sedetail itu dapat menelanjangi penyintas untuk kedua kalinya.

Perdebatan ini kemudian memunculkan pertanyaan, bagaimana idealnya sebuah media memberitakan kasus kekerasan seksual? Terlebih saat media harus menampilkan pemberitaan tersebut secara objektif, sehingga masyarakat bisa memahami pemberitaan tersebut, namun dengan batasan-batasan moral yang tak terlihat agar korban tetap terlindungi.

Pemberitaan mengenai kekerasan seksual ini menjadi topik yang sangat sensitif, sehingga tak jarang dijadikan strategi oleh beberapa media untuk mendongkrak angka pembaca. Dilansir dari jurnal Analisi Isi Kekerasan Seksual Dalam Pemberitaan Media Online Detik.Com, berita mengenai kasus kekerasan seksual menjadi menarik karena mempunyai unsur seks di dalamnya, sehingga berita yang ada bisa dikemas sedemikian rupa, bahkan tak jarang memakai ilustrasi yang merujuk kepada pornographizing. Ironisnya pemberitaan di media sampai saat ini masih melanggengkan stigmatisasi, tak lain pemberitaan tersebut masih menggiring pembaca untuk menghakimi korban, hingga muncul stereotip.

Pelecehan seksual sendiri merupakan salah satu dari 15 macam kekerasan yang bisa dialami oleh siapa saja, tak jarang juga terjadi mulai dari anak kecil hingga ibu-ibu pun bisa mengalami kejadian keji tersebut. Pemberitaan mengenai kekerasan seksual di media sekarang ini diibaratkan dengan dua mata pisau, yaitu pemberitaan disisi lain bertujuan untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku, disisi lain pemberitaan tersebut membuat korban menjadi korban yang kedua kalinya selain itu, tak jarang juga yang menimbulkan trauma mendalam kepada korban.

Pertimbangan Penulisan Kasus Kekerasan Seksual dengan Penyintas

Dalam upaya mengurangi risiko dua mata pisau tersebut, baik Dewan Pers maupun organisasi-organisasi pers seperti Aliansi Jurnalis Independen telah mengkaji tata cara dan batasan-batasan penulisan berita kasus kekerasan seksual. Salah satunya adalah lokakarya yang dilakukan Samahita yang turut mengundang AJI dengan membawakan tema Workshop Penulisan Berita dan Kronologis Kasus Kekerasan Seksual.

Adi Marsiela sebagai perwakilan dari AJI Bandung menjelaskan mengenai tata cara penulisan berita mengenai kekerasan seksual agar bisa tersampaikan dengan baik kepada masyarakat sambil melindungi hak dan perasaan penyintas kekerasan seksual. Mengikuti Kode Etik Jurnalistik adalah hal yang menurutnya paling utama, sebab KEJ adalah panduan dasar dalam penulisan berita.

Lebih jauh mengenai penulisan kasus kekerasan seksual, penulisan berita dengan sudut pandang korban adalah hal yang tak kalah penting. Mengedepankan pernyataan atas pengalaman dari penyintas idealnya menjadi prioritas dalam penulisan berita mengenai kasus kekerasan seksual, alih-alih mementingkan agenda setting atau framing terhadap isu yang sensasional apalagi mengejar kecepatan publikasi berita.

Persetujuan penyintas untuk bercerita dan menentukan sejauh apa cerita yang bisa diceritakan harus berasal dari dirinya sendiri. Jurnalis hendaknya tidak memaksa ataupun terlalu mengorek lebih jauh dari apa yang diceritakan demi kenyamanan sang penyintas. Bila perlu, jurnalis bisa berdiskusi dengan pendamping penyintas kira-kira apa saja yang bisa men-trigger pengalaman pahit penyintas dan menghindarinya. Selain itu, jurnalis juga perlu mendiskusikan risiko-risiko keselamatan jika pengalaman sang penyintas dipublikasikan oleh media.

Demi melindungi hak penyintas kasus kekerasan seksual dan menghindari adanya intervensi dari jurnalis, sebelum berita dimuat dan dipublikasikan, Adi berkata bahwa penyintas dapat melihat kembali draft tulisan yang dibuat jurnalis. Sang penyintas memiliki hak untuk mengoreksi atau menghilangkan bagian-bagian yang menurutnya tidak perlu dipublikasikan demi kebaikannya.

Panduan Penulisan Berita mengenai Kasus Kekerasan Seksual

Dalam penulisan berita kasus kekerasan seksual, perwakilan dari AJI Bandung itu mengatakan bahwa pemilihan kata sangat mempengaruhi keseluruhan isi berita. Penggunaan istilah-istilah seperti aktivitas seksual, kekerasan seksual, dan pencabulan dikategorikan sebagai istilah-istilah yang rancu. Penggunaan istilah-istilah yang rancu tersebut tidak dapat menggambarkan kejadian yang sebenarnya, menimbulkan dampak pada pemahaman publik yang terbatas terkait kejadian sebenarnya dan tidak tahu bagaimana menanggapinya. Ketepatan penanganan para pihak yang berwenang pun menjadi kabur, publik akan sulit menilai apakah reaksi para pemegang kekuasaan itu sudah tepat atau sebaliknya.

Itulah sebabnya jurnalis harus bisa menyajikan informasi yang akurat dan jelas, namun juga harus peka dalam melindungi penyintas yang bersangkutan. Jurnalis harus bisa mengklasifikasikan jenis kekerasan seksual dari pernyataan penyintas dan menuliskannya sesuai arahan agar kasusnya dapat mendapat perhatian dari publik dan penanganan yang tepat, serta sebagai pertimbangan bagi pihak berwenang untuk memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku kekerasan seksual.

Kelengkapan dalam penulisan berita mengenai kasus kekerasan seksual juga harus memuat 5W+1H. Dalam lokakarya tersebut, Adi membagikan racikan yang pas bagi pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual. Pada kategori siapa, jurnalis hendaknya menuliskan korban dengan identitas yang disamarkan dan juga pelaku. Selanjutnya adalah menceritakan secara runtut kejadian kekerasan seksual tersebut berdasarkan waktu dan lokasi yang akurat. Terakhir, pada kategori kenapa dan bagaimana jurnalis bisa menggambarkan kejadian dengan konteks agar kejadian kekerasan seksual dapat tergambarkan dengan baik.

Pentingnya Edukasi Seks untuk Menghindari Kasus Kekerasan Seksual

Melihat banyaknya kasus kekerasan seksual yang diberitakan oleh media, dapat dinilai bahwa masyarakat genting akan pemahaman atau edukasi seksual, baik itu bagi anak-anak, remaja hingga orang dewasa sekalipun. Indonesia, dengan beragam perbedaan mulai dari agama, budaya, ras dan lain sebagainya. Dengan adanya perbedaan ini pula, sesuatu yang berhubungan dengan seksual menjadi hal yang amat tabu di masyarakat kita. Maka dari itu, edukasi seks ini sangat susah untuk disosialisasikan, khususnya daerah-daerah yang masih menganut adat istiadat dan agama yang kuat. Beda dengan kota-kota besar seperti Ibukota Jakarta, edukasi seks ini sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan sudah diterapkan sejak belia melalui medium-medium tertentu.

Terkait hal ini, Pemerintah bekerjasama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional mengadakan Duta Generasi Berencana (GenRe). Program GenRe adalah pendidikan dini terhadap pendewasaan perkawinan sehingga masyarakat khususnya remaja dapat mematangkan pemikirannya terhadap jenjang kehidupan yang akan ditapakinya. Tujuan dari program GenRe adalah program yang mengutamakan pembentukan karakter bangsa dengan target utama yaitu kalangan remaja. Program ini melakukan edukasi mengenai edukasi seks, larangan pemakaian Napza dan Narkotika dan hal menyimpang lainnya. Dengan adanya Duta GenRe ini, diharapkan mereka dapat mensugesti masyarakat khususnya remaja terhadap hal menyimpang ini, salah satunya yaitu mengenai pelecehan seksual.

Menanggapi hal ini, salah satu Duta GenRe Kota Bukittinggi tahun 2018, Andika Pratama. Menyampaikan pandangannya mengenai edukasi seks terkait banyaknya kasus pelecehan seksual yang ada di masyarakat. Edukasi seks ini merupakan salah satu dari kegiatan atau program yang dicanangkan oleh Program GenRe ini. Di mana pelaksanaan edukasi seks ini direpresentasikan melalui tayangan kartun bagi anak-anak mengenai Dos & Don'ts bagian tubuh orang lain yang tidak boleh dipegang. Selain itu, sosialisasi mengenai edukasi seks kepada remaja seperti pemberian pamflet mengenai larangan seks bebas, dan lain sebagainya.

Langkah preventif ini sangat dibutuhkan, mengingat masyarakat terkhusus remaja memiliki rasa penasaran yang tinggi. Kita juga mengemas hal ini dengan konsep yang unik, melalui platform media sosial. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi tingkat pelecehan seksual yang ada, karena masyarakat sudah diberikan edukasi bahwa hal tersebut sangat salah dan tidak dapat dinormalisasi, ujar Andika. (ZL,OA,GG)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image