REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Organisasi pemantau pemilu independen menyatakan hasil pemilu November tahun lalu di Myanmar pada umumnya mewakili keinginan rakyat pada Senin (17/5). Pernyataan ini menolak tuduhan militer atas penipuan besar-besaran yang menjadi alasannya untuk merebut kekuasaan.
Laporan Jaringan Asia untuk Pemilu Bebas (ANFREL) mengatakan meskipun ada kekurangan dalam proses pemilihan, ada sejumlah perlindungan prosedural yang diterapkan selama proses pemungutan suara. Proses ini pun terbukti transparan dan dapat diandalkan.
Namun, organisasi ini mencatat bahwa proses pemilihan Myanmar pada dasarnya tidak demokratis karena konstitusinya pada 2008 ditulis selama pemerintahan militer. Aturan itu menyatakan militer mendapatkan 25 persen bagian secara otomatis dari semua kursi parlemen.
Aturan itu dinilai cukup untuk memblokir perubahan konstitusional. Sebagian besar populasi, terutama minoritas Muslim Rohingya, dirampas hak kewarganegaraannya, termasuk hak untuk memilih.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi menang telak dalam pemilihan 8 November, sehingga seharusnya mengamankan masa jabatan lima tahun kedua di kantor. Kemenangannya pada 2015 menggerakkan Myanmar menuju demokrasi setelah lebih dari lima dekade pemerintahan militer langsung dan tidak langsung.
Akan tetapi pada 1 Februari militer menangkap Suu Kyi dan puluhan pejabat tinggi lainnya. Tindakan selanjutnya mencegah anggota parlemen terpilih untuk mengadakan sesi baru Parlemen, menyatakan keadaan darurat, dan mengatakan akan menjalankan negara sampai pemilihan baru diadakan dalam satu tahun.
Laporan oleh ANFREL mencatat pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan militer mengambil alih karena ada kecurangan yang mengerikan dalam daftar pemilih. Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan yang didukung tentara membuat tuduhan serupa.