Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen di STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, Syekh Syah bin Syuja' Al Karmani adalah seorang keturunan raja. Tapi ia lebih memilih hidup sederhana dan menjadi seorang yang zuhud. Ia memiliki seorang putri yang sangat cantik. Putrinya dilamar penguasa di negeri itu. Syekh Syah berkata, "Beri aku waktu tiga hari untuk berpikir."
Suatu ketika ia lewat di depan masjid. Ia melihat seorang pemuda sedang sholat. Ia perhatikan sholat pemuda itu begitu tenang dan khusyuk. Ia menunggu sampai pemuda itu selesai sholat. Lalu ia mendekati sang pemuda dan bertanya, "Anak muda, apakah engkau sudah beristri?" Pemuda itu menjawab, "Belum." Syekh Syah berkata, "Maukah engkau menikahi seorang gadis yang salehah, zuhud, hafal Alquran, dan juga cantik?"
Pemuda itu berkata, "Siapa pula yang mau menikahkanku dengan gadis seperti itu sementara aku hanya punya uang tiga dirham?" Syekh Syah berkata, "Aku yang akan menikahkanmu dengannya. Gadis itu adalah putriku. Aku sendiri adalah Syah bin Syuja' Al Karmani. Sini uangmu yang tiga dirham itu. Satu dirham aku akan belikan roti. Satu dirham lagi untuk beli lauk. Dirham terakhir untuk membeli parfum."
Akhirnya Syekh Syah menikahkan putrinya dengan pemuda miskin yang saleh itu. Setelah menikah, gadis itu melihat di rumah suaminya ada roti kering. Ia segera memakai selendangnya dan keluar membawa roti itu. Melihat hal itu sang suami berkata, "Sudah kuduga, putri seorang Syah bin Syuja' al-Karmani tidak akan tahan hidup miskin bersamaku." Sang istri berkata, "Demi Allah, aku tidak keluar karena takut miskin, tapi karena kelemahan imanmu. Bagaimana mungkin engkau masih menyimpan roti untuk besok?" Sambil tersenyum bahagia, sang suami berkata: "Astaghfirullah..." (نزهة المتأمل ومرشد المتأهل للإمام السيوطي ص ٣٤)
Sah-sah saja seorang ayah memiliki standar tertentu untuk calon menantunya. Sah-sah saja seorang gadis juga memiliki standar tertentu. Demikian juga dengan seorang pemuda. Tapi pada akhirnya standar agama tetap yang terbaik dan paling aman.
Kalau seorang pemuda tidak bisa menjaga kewajibannya kepada Rabb-nya, bagaimana mungkin ia diharapkan menjaga kewajibannya kepada keluarganya? Kalau seorang gadis tidak bisa menjaga kehormatan dirinya, bagaimana mungkin ia diharapkan menjaga kehormatan suami dan keluarganya?
Standarnya sederhana saja, kesalehan. Bukan harta, paras, posisi, apalagi semazhab atau semanhaj. Kesamaan rasa dan pola pikir itu penting. Tapi tidak berarti itu menjadi syarat utama dalam memilih pasangan hidup. Justeru kesamaan rasa dan pola pikir itu sering lahir setelah menikah kalau niat dan prosesnya benar.
Mumpung masih Syawal, tak ada salahnya para ayah melakukan 'penjajakan' awal di masjid. Mungkin tak cukup sekali dua kali. Tak cukup juga hanya di masjid. Perlu tahu kepribadiannya melalui interaksinya dengan masyarakat, kepeduliannya pada orang lain dan seterusnya. Tapi tetap, semua berawal dari masjid. Untuk melahirkan generasi terbaik masa depan memang ekstra hati-hati.