REPUBLIKA.CO.ID, MALANG – Kuliner ketupat atau kupat selalu dikaitkan dengan tradisi Islam terutama di perayaan Idul Fitri . Meskipun demikian, kudapan ini sebenarnya tidak memiliki kaitan langsung dengan Islam di masa lampau.
Dosen Sejarah dari Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono, mengatakan kuliner ketupat sudah ada sejak masa Hindu-Budha, yakni sekitar abad ke-9 dan 10. Sebab, kata 'kupat' sudah disebutkan dalam Kakawin Ramayana.
Selain itu, ketupat tidak hanya dikenal di Pulau Jawa tapi juga Nusantara. "Jadi kupat ini sudah ada sejak zaman pra-Islam. Tidak secara langsung dengan Islam. Bahwa nantinya dihubungkan dengan Islam, itu dalam perkembangan berikutnya," kata pria yang dikenal sebagai arkeolog UM ini.
Kudapan ketupat memiliki sebutan berbeda di berbagai daerah seperti buras di Sulawesi Selatan (Sulsel). Makanan ini sama-sama terbuat dari beras yang dibungkus daun. Namun kudapan ini menambahkan santan sehingga rasanya lebih gurih dibandingkan ketupat pada umumnya.
Ketupat juga memiliki beragam bentuk, dari bujur sangkar, lonjong dan sebagainya. Begitu pula dari bungkusannya yang bervariasi dari daun kelapa, pisang dan lain-lain. Namun pada intinya, kuliner tersebut sama-sama terbuat dari beras yang dibungkus dalam daun lalu teksturnya padat.
"Kupat juga dipakai di kuliner biasa seperti ada soto kupat. Paduan lain juga ada sayur lodeh dan seterusnya. Jadi tidak secara langsung terkait dengan ritual Islam," ucapnya.
Pada ritual Islam, ketupat umumnya hadir di perayaan Idul Fitri bukan Idul Adha. "Dan ternyata pilihan waktu menghadirkan kupat bisa beda. Di Melayu, Betawi meluas sampai ke Jawa Barat sampai ke semenanjung Malaysia, kupatan hadir di hari kesatu Idul Fitri. Di pemangku budaya Melayu sampai Kalimantan, Pattani. Jadi sebarannya luas kupat itu. Tidak hanya Indonesia, sebagian Asia yang masuk rumpun budaya Melayu juga," katanya.
Namun untuk wilayah Jawa Tengah ke Timur, ketupat sulit ditemukan...