Kamis 20 May 2021 20:57 WIB

Puluhan Laporan Kematian yang Dinilai Bukan karena Vaksinasi

KIPI menerima 30 laporan kematian terkait vaksinasi Sinovac dan AstraZaneca.

Red: Andri Saubani
Petugas dari Puskesmas Kecamatan Pulogadung menunjukan vaksin COVID-19 AstraZeneca di Balai Warga Rw 01 Pulogadung, Jakarta, Jumat (7/5). Kegiatan vaksin yanng menyasar warga usia 18-59 yang berada di RW pemukiman padat/kumuh tersebut setiap harinya menargetkan sebanyak 100 warga divaksin yang berlangsung sejak 5 hingga 12 Mei mendatang.Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
Petugas dari Puskesmas Kecamatan Pulogadung menunjukan vaksin COVID-19 AstraZeneca di Balai Warga Rw 01 Pulogadung, Jakarta, Jumat (7/5). Kegiatan vaksin yanng menyasar warga usia 18-59 yang berada di RW pemukiman padat/kumuh tersebut setiap harinya menargetkan sebanyak 100 warga divaksin yang berlangsung sejak 5 hingga 12 Mei mendatang.Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Sapto Andika Candra, Antara

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta, Kamis (20/5), Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI), Hindra Irawan Satari, mengungkapkan dari total 27 laporan kasus kematian diduga terkait vaksin Sinovac di Indonesia dipastikan tidak disebabkan imunisasi Covid-19. KIPI juga menerima tiga laporan kematian terkait vaksinasi AstraZaneca.

Baca Juga

"Yang meninggal itu dari Sinovac ada 27 kasus. Semua ada diagnosisnya," katanya Hindra.

Berdasarkan hasil analisis, kata Hindra, sebanyak sepuluh kasus di antaranya terinfeksi Covid-19, 14 lainnya karena penyakit jantung dan pembuluh darah, satu orang karena gangguan fungsi ginjal secara mendadak serta dua orang sisanya didiagnosa mengalami diabetes melitus dan hipertensi yang tidak terkontrol. Komnas KIPI bisa mendiagnosa riwayat pasien, kata Hindra, karena data yang dihimpun berdasarkan laporan medis lengkap.

"Pasiennya diperiksa, dirawat, dirontgen, CT scan dan dapat diagnosisnya," katanya.

Menurut Hindra, laporan dari kejadian KIPI serius memiliki keluhan yang hampir sama. Seperti sesak napas, keram, mual, lemas, dada berdebar, pusing kepala, pingsan, bengkak, gatal, kemerahan, kejang, batuk hingga merasa kedinginan.

"Kalau pasien dengan gejala itu sampai dirawat, itu jadi kejadian KIPI serius," katanya.

Menurut Hindra, rangkaian kejadian yang dilaporkan diduga terkait vaksin, telah diaudit jajaran Komnas KIPI hingga ke jaringan daerah di seluruh Indonesia. "Kami audit bersama Komda KIPI hampir tiga kali sepekan secara online. Kami bukan hanya menerima laporan, tapi juga menerima audit," katanya.

Sebanyak 27 laporan kasus meninggal itu merupakan bagian dari analisa terhadap 211 kejadian KIPI serius vaksin Sinovac yang dihimpun Komnas KIPI sejak Desember 2020 hingga 16 Mei 2021.

Komnas KIPI juga menerima tiga laporan terkait vaksinasi merek AstraZaneca. Menurut Hindra, dua dari tiga kejadian kematian diduga akibat vaksin Covid-19 tidak berhubungan dengan imunisasi AstraZeneca.

"Terkait tiga laporan yang meninggal, yakni dua di Jakarta dan satu di Ambon," kata Hindra.

Hindra menjelaskan, seorang pria berusia 60 tahun yang berprofesi sebagai pengendara ojek daring di Jakarta dilaporkan meninggal usai disuntik AstraZeneca. Saat datang ke tempat pelayanan vaksinasi, kata Hindra, sempat diwawancara terkait potensi penyakit bawaan atau komorbid oleh petugas, namun tidak dilakukan pemeriksaan medis.

"Kalau di pos pelayanan vaksinasi itu tidak diperiksa. Lalu besoknya dia ke puskesmas di Jakarta karena mengalami sesak napas dan menyatakan sehari sebelum vaksin memang sudah sesak," katanya.

Selanjutnya, petugas puskesmas melakukan diagnosis hingga ditemukan radang paru berdasarkan laporan rontgen. "Saat makin berat sakitnya, harus dirujuk tapi tidak ada tempat, harus inkubasi dia menolak, semakin berat lagi saat mau dirujuk, tapi tempatnya sudah penuh," katanya.

Pasien tersebut pun dinyatakan meninggal empat hingga lima hari kemudian. "Jadi bukan gara-gara vaksinnya, tapi karena memang radang paru sebelum vaksin," katanya.

Kasus kematian yang juga dilaporkan terkait AstraZeneca terjadi di Ambon yang dialami seorang lanjut usia (lansia) berumur 45 tahun. "Almarhum disuntik. Besoknya dia demam, batuk pilek, makin berat. Terrnyata terpapar positif Covid-19. Memang sebelum vaksin sudah mengalami Covid-19 berat, lalu meninggal," ujarnya.

Satu kasus kematian lainnya masih dalam proses investigasi Komnas KIPI bersama jajaran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Kesehatan. Kasus itu dialami almarhum Trio Fauqi Virdaus (22) di Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur.

Kepada jajaran Komisi IX DPR RI Hindra melaporkan kronologi yang diduga kuat mempengaruhi daya tahan tubuh almarhum sebelum meninggal. Pertama, kondisi almarhum sedang berpuasa saat menjalani vaksinasi AstraZeneca di Gelora Bung Karno Jakarta dan hanya memilih minum saat waktu berbuka puasa.

Selanjutnya. adalah keterlambatan respons keluarga untuk membawa Trio ke rumah sakit saat terjadi gejala usai vaksinasi. "Sulit nyatakan ini terkait imunisasi, tapi juga sulit untuk menyatakan ini tidak terkait imunisasi karena AstraZeneca," katanya.

 

 

Komnas KIPI telah mengajukan rekomendasi untuk dilakukan otopsi pada jenazah Trio untuk mengumpulkan data hubungan sebab-akibat AstraZeneca dengan peristiwa itu. Rekomendasi itu kemudian disetujui pihak keluarga arlmarhum Trio.

Sebelumnya, pihak keluarga Trio Fauqi Virdaus memberi saran kepada pemerintah memperketat tahapan skrining. Kakak Trio, Viki mengapresiasi upaya pemerintah yang menghentikan vaksin AstraZeneca batch CTMAV547.

"Langkah pemerintah sudah baik, tapi aspirasi kami mengenai metode skrining perlu ditingkatkan," kata Viki kepada Republika, Selasa (18/5).

Viki menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pelampiran cek laboratorium bagi individu sebelum melaksanakan vaksinasi. Hal ini guna mengetahui rekam medis dan mengetahui penyakit yang diderita individu sebelum divaksin.

"Syaratnya perlu cek laboratorium sebelum divaksin biar lebih safety. Orang itu enggak tahu lagi sakit apa sebelum divaksin," ujar Viki.

Viki menyayangkan tak ada cek laboratorium terhadap adiknya sebelum divaksin. Hal inilah yang membuatnya penasaran akan penyebab meninggalnya sang adik yang baru saja divaksin sehari sebelumnya.

"Memang seharusnya pekerja perlu medical check up untuk tahu kondisinya biar saat terjadi hal bagaimana sudah siap ada riwayat medisnya. Bukan cuma mengandalkan yang kelihatannya saja," ucap Viki.

Pemerintah pun memutuskan tetap melanjutkan pelaksanaan vaksinasi Covid-19 menggunakan vaksin Astrazeneca dengan batch selain CTMAV457. Hanya batch tersebut yang mendapat penundaan penggunaan dan distribusi akibat adanya dugaan efek samping parah terhadap penerimanya.

"Saya ingin kembali menekankan bahwa pemberian vaksin AstraZeneca non-batch CTMAV457 akan tetap dilakukan khususnya bagi masyarakat yang baru menerima dosis pertama demi mencapai kekebalan individu sempurna dengan dosis kedua," ujar Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam keterangan pers, Kamis (20/5).

Saat ini, ujar Wiku, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah melakukan investigasi terhadap vaksin AstraZeneca batch CTMAV457. Investigasi yang dilakukan termasuk uji toksisitas dan abnormal serta sterilisasi dari produk vaksin.

"Sedangkan untuk laporan efek samping lainnya yang berskala ringan sampai sedang, sudah dilakukan penanganan kesehatan sesuai fasilitas kesehatan terdekat," kata Wiku.

Pemerintah menjamin seluruh temuan efek samping yang dirasakan warga penerima vaksin akan ditindaklanjuti. Penindakan dilakukan berjenjang dengan melibatkan fasilitas kesehatan pemberi vaksin, Pokja KIPI tingkat kabupaten kota, Kompas KIPI, Komnas KIPI, dan Subdit Imunisasi BPOM.

"Mohon kepada masyarakat agar tidak ragu melaporkan keluhan dan vaksinasi karena setiap laporan yang masuk dari daerah sangat bermanfaat bagi pelaksanaan vaksasinasi di Indonesia dan global," ujar Wiku.

 

photo
Vaksin AstraZeneca - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement