REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rizky Suryarandika
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memastikan penanganan perkara di lembaga ini tidak ada yang berhenti meskipun 75 pegawai dibebastugaskan setelah tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Firli juga menegaskan, hingga hari ini KPK tidak memecat 75 pegawai tersebut.
"Kami pastikan tidak ada perkara yang berhenti, tidak pernah ada perkara terlambat, kami pastikan karena sistem KPK sudah berjalan dan yang bekerja bukan perorangan, bukan satu orang tetapi semua pegawai insan KPK bekerja keras untuk melakukan pemberantasan koruspi bersama-sama," kata Firli di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (20/5).
Diketahui, dari 75 pegawai tersebut terdapat sejumlah kasatgas penyidikan, yaitu Novel Baswedan, Ambarita Damanik, Andre Nainggolan, Harun Al Rasyid, Budi Sukmo, Budi Agung Nugroho, Alief Julian Miftah serta nama lainnya. Para penyidik itu diketahui sebelumnya ikut menggarap kasus-kasus besar yang saat ini juga masih berjalan penyidikannya, seperti kasus ekspor benih lobster, kasus bansos Covid-19, sampai kasus penyidik Stephanus Robin yang juga menyeret Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.
"Mungkin ada yang bertanya bagaimana dengan yang 75 (pegawai). Kami ingin pastikan sampai hari ini tidak pernah KPK memberhentikan, tidak pernah KPK memecat, dan tidak pernah berpikir KPK untuk memberhentikan dengan hormat maupun tidak hormat," ujar dia.
Sementara itu, kata Firli, untuk 1.274 pegawai KPK yang dinyatakan lulus TWK akan segera dilantik menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). "Terkait dengan bagaimana yang memenuhi syarat sebanyak 1.274 pegawai KPK, kami terus melakukan komunikasi baik pimpinan maupun sekjen selaku pejabat pembina kepegawaian. Insya Allah atas berkat Tuhan Yang Maha Esa dan semangat kebersamaan dengan kementerian dan lembaga, mudah-mudahan semua bisa lancar dan pada saatnya mereka akan kami lakukan pelantikan sebagai ASN," tuturnya.
Firli menjelaskan, dalam rapat pada 5 Mei 2021 telah dibahas tindak lanjut soal pegawai yang lulus dan tidak lulus TWK tersebut. Firli menyebut rapat paripurna KPK itu dihadiri lima Pimpinan KPK, lima anggota dewas, dan beserta segenap eselon I deputi, sekjen, eselon II direktur, dan kepala biro.
"Kami membahas bagaimana yang memenuhi syarat terkait dengan tes wawasan kebangsaan untuk menjadi ASN dan bagaimana pula dengan tidak yang memenuhi syarat dari Tes Wawasan Kebangsaan untuk menjadi ASN," ungkap Firli.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menduga 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK terus dihambat dengan berbagai cara agar tak menangani kasus korupsi skala besar. Feri pun menyayangkan pernyataan Presiden Jokowi sebenarnya tak banyak mengubah nasib pegawai KPK tak lulus TWK.
Bahkan pada prinsipnya, Feri menilai, Presiden Jokowi justru tak memprotes TWK. Padahal, Feri meyakini TWK penuh dengan masalah. Salah satunya isi soal TWK yang jauh dari TWK bagi calon ASN pada umumnya.
"Pidato Presiden tidak banyak perbaiki situasi, pak Presiden hanya memastikan bahwa tidak boleh ada pemberhentian, tetapi pak Presiden sama sekali tidak menolak TWK yang isinya sangat-sangat bermasalah," kata Feri kepada Republika, Rabu (19/5).
Feri mendapati informasi bahwa pegawai KPK tak lulus TWK akan menjalani pembinaan. Menurut Feri, langkah ini hanyalah akal-akalan. Ia meyakini tujuan pembinaan agar mereka tak lagi bisa bekerja optimal menangani perkara korupsi.
"Proses pendidikan untuk pegawai KPK tidak lulus TWK malah memperumit suasan karena akan timbul masalah baru. Mereka akan disibukkan dengan proses pendidikan, kita tidak tahu apakah akan menambah wawasan kebangsaan atau memastikan agar mereka tidak menangani perkara penting," ujar Feri.
Feri mengingatkan unsur pimpinan KPK agar mematuhi regulasi yang ada mengenai alih status pegawai KPK menjadi ASN. Ia menekankan bahwa TWK bukan syarat alih status tersebut.
"Solusi yang pantas bagi mereka sesuai UU KPK yang baru 19/2019 dan PP 41/2020 jelas bahwa proses alih status otomatis. Mereka berhak milih jadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K)," ucap Feri.
Direktur Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, perlu ada atensi khusus dari Kementerian PAN RB, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi Aparatur Sipil Negara yang berkoordinasi dengan KPK terkait 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK.
"Perlu ada pembinaan kepegawaian yang khusus dan berbeda dengan kementerian atau lembaga lain untuk dapat diterapkan oleh KPK," kata Aditya dalam keterangannya, Kamis.
Aditya berharap semoga dalam waktu dekat, polemik alih status kepegawaian dapat dituntaskan dan KPK dapat bekerja maksimal lagi tanpa gangguan berarti. Ia mengatakan, pernyataan Presiden (Joko Widodo (Jokowi) merespons wacana publik terkait TWK KPK patut diapresiasi dengan baik.
Pandangan Presiden secara eksplisit menegaskan, bahwa perlu ada pembenahan organisasi dalam tubuh KPK dengan cara membenahi proses alih status kepegawaian secara tepat, termasuk 75 pegawai yang menjadi polemik saat ini. Semua itu merupakan pekerjaan rumah bagi KPK dalam pembenahan organisasi internal.
Hal itu menjadi penting dan serius seiring dengan amanat UU KPK Nomor 19/2019. "Kita memahami bahwa produk UU itu menimbulkan kontroversial dan sudah diperkuat dalam keputusan MK terbaru, namun semua elemen internal KPKga harus mendukung sepenuhnya perubahan kelembagaan tersebut," katanya.
"Publik luas akan punya kepentingan terhadap upaya penguatan kelembagaan KPK. Namun, apabila secara internal KPK terus kesulitan melakukan pembenahan organisasi dan SDM akibat proses konflik, maka harapan publik tentu sulit dipenuhi," ujarnya, menambahkan.
Aditya menilai, sebagai bagian dari organisasi birokrasi yang terbilang khusus, seluruh pegawai KPK dituntut menjadi satu kesatuan gerak organisasi yang dapat menuntaskan berbagai kasus korupsi yang semakin marak. Apabila ketidakharmonisan hubungan personal dan individu yang ditunjukkan dalam polemik alih status pegawai ini terus berlanjut, maka pihak yang tidak senang dengan kehadiran KPK dapat tersenyum bahagia.
Apalagi, polemik alih status kepegawaian ini sudah mencuat luas dan semakin memeruncing. Terakhir, 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK mengadu kepada Ombudsman terkait malaadministrasi alih status kepegawaian.
"Saya sepakat dengan pandangan Ombudsman bahwa proses ini dapat dilakukan tanpa kegaduhan agar kesepakatan nantinya diterima oleh semua pihak yang sedang berkonflik. Artinya 75 orang pegawai KPK dapat menjaga dengan baik proses pengaduan yang mereka ajukan tersebut demi kepentingan KPK secara kelembagaan," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan, TWK tidak boleh serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Presiden Jokowi menyampaikan, KPK harus memiliki SDM terbaik dan berkomitmen tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), kata dia, harus menjadi bagian dari upaya untuk pemberantasan korupsi yang lebih sistematis.
"Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK, dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes," ujar Jokowi dalam pernyataannya di Istana Merdeka, Senin (17/5).
Saya berpendapat, hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK, hendaknya tidak serta-merta jadi dasar untuk memberhentikan 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus tes.
Kalau ada kekurangan, tentu bisa diperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan. pic.twitter.com/rntwzBZF6V
— Joko Widodo (@jokowi) May 17, 2021