REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa pelanggaran protokol kesehatan (prokes) Covid-19, Habib Rizieq Shihab menjalani sidang lanjutan dengan agenda pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) pada Kamis (20/5).
HRS pun membuat nota pembelaan dengan dua judul terkait tiga tuntutan yang ditujukan jaksa penuntut umum (JPU) kepadanya. Tuntutan terdiri kasus pelanggaran prokes di Petamburan (Jakarta Pusat), Megamendung (Kabupaten Bogor), dan tes usap Rumah Sakit Ummi (Kota Bogor).
Judul pleidoi yang dibuat adalah 'Menegakkan Keadilan dan Melawan Kezaliman Kriminalisasi, Cinta dan Kerinduan Umat via Pidanaisasi Pelanggaran Prokes Menjadi Kejahatan Prokes' serta 'Balas Dendam Politik via Operasi Penghakiman dan Penghukuman'.
Dalam berkas pleidoi setebal 46 halaman (isi pembelaan 45 halaman) yang didapat Republika pada Jumat (21/5), HRS menyinggung tentang kasus politik yang dibungkus dan dikemas dengan kasus hukum. Kondisi itu yang menjeratnya sekarang.
"Sehingga hukum hanya menjadi alat legislasi dan justifikasi untuk memenuhi dendam politik ologarki terhadap saya dan kawan-kawan. Sebelum saya buktikan dengan memaparkan berbagai indikasi yang menjadi petunjuk bahwa kasus yang saya hadapi lebih tepat disebut sebagai kasus politik ketimbang kasus hukum, maka saya memandang perlu untuk kembali menceritakan latar belakang semua kejadian yang saya hadapi," kata HRS.
Menurut HRS, tidak bisa dipungkiri semua yang menimpanya sekarang, bermula dari Aksi Bela Islam (ABI) 411 dan 212 pada 4 November dan 2 Desember 2016. Saat itu, kata dia, umat Islam Indonesia bersatu menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, si penista agama untuk diadili. Ahok kala itu merupakan gubernur DKI yang ingin maju periode kedua.
"Karena (Ahok) telah menistakan Alquran. Kemudian berlanjut ke Pilkada 2017 di Ibu Kota, ketika itu Ahok menjadi salah satu calon gubernur Jakarta yang didukung penuh oleh para oligarki," kata HRS.
Dia menyebut, ketika itu, para oligarki sangat yakin, bahkan berani memastikan Ahok pasti menang Pilkada DKI 2017. Karena bukan saja Ahok dan para oligarki sukses menggalang dukungan rezim penguasa, HRS melanjutkan, tapi juga berhasil menggalang dukungan dari sejumlah ormas besar dan hampir semua partai politik.
"Serta digaungkan habis-habisan oleh berbagai media cetak dan elektronik mainstream, juga dibesarkan oleh berbagai lembaga survei dan dipuja-puji oleh para tokoh nasional dan pengamat, tidak ketinggalan para buzzerp bayaran," kata pendiri Front Pembela Islam (FPI) itu.
HRS menjelaskan, sikap politiknya dan umat Islam yang ikut ABI 411 dan 212 pada 2016 sangat jelas, yaitu tidak mau seorang penista agama yang bersikap arogan dan korup, serta sering berucap kata kasar dan kotor, sekaligus kepanjangan tangan para oligarki, menjadi gubernur Ibu Kota. Apalagi, Jakarta adalah wilayah mayoritas Muslim yang agamis dan religius.
"Sehingga kami sepakat berkomitmen untuk berjuang mengalahkan Ahok di medsos dan pilkada serta pengadilan secara konstitusional. Walau kekuatan kami di hadapan kekuatan para oligarki ibarat sekoci-koci kecil yang ingin menenggelamkan kapal induk," kata HRS.
Mulai saat itulah, HRS mengungkap, ia dan kawan-kawan menjadi target kriminalisasi. Sehingga sepanjang 2017, aneka ragam rekayasa kasus dialamatkan kepadanya. Dia menyadari, sedang menjadi target operasi intelijen berskala besar.
"Kami sebut intelijen hitam karena mereka tidak bekerja untuk keselematan bangsa dan negara, tapi hanya untuk kepentingan oligarki. Sedang intelijen yang bekerja dengan ikhlas untuk menjaga dan melindungi bangsa dan negara dari segala rongrongan, itulah yang pantas disebut intelijen putih," kata HRS.