REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan mengubah sistem pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi sistem multitarif. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kualitas sistem pemajakan konsumsi agar berjalan lebih optimal.
Berdasarkan laporan kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) 2022, adanya sistem mulititarif maka pemerintah akan memberikan tarif yang beragam kepada barang kena pajak, ada yang turun, tetap, maupun naik. Adapun saat ini sistem tarif PPN berlaku single tarif sebesar 10 persen.
“Pemerintah akan memberikan tarif PPN yang lebih rendah kepada kelompok berpenghasilan rendah. Tak hanya itu, pemerintah juga berencana menggabungkan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) ke dalam sistem PPN,” tulis kerangka KEM PPKF 2022 seperti dikutip Jumat (21/5).
Pemerintah juga mengkaji kemungkinan penerapan tarif PPN yang lebih tinggi untuk mengintegrasikan pengenaan PPnBM ke dalam sistem PPN. Adanya perbaikan sistem PPN maka pemerimtah berharap sistem PPN akan lebih sehat dan dapat menjadi sumber utama penerimaan pajak.
Sementara Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan opsi tersebut masih dikaji. Adapun tujuannya agar menjamin efektivitas dan administrasi perpajakan yang lebih sederhana.
“Pada dasarnya opsi-opsi ini dikaji. Harapannya, jika dimungkinkan integrasi ini lebih menjamin efektivitas dan kesederhanaan administrasi,” jelasnya.
Namun demikian, pemerintah belum menjelaskan lebih detail mengenai sisem PPN yang multitarif. Saat ini tarif PPnBM berlaku dua jenis, kendaraan bermotor dan non kendaraan bermotor, yang dikenakan juga beragam dari 10 persen hingga 125 persen.
Aturan mengenai PPN dan PPnBM tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. Dasar hukum PPN dan PPnBM selalu berjalan beriringan, sebab PPnBM tidak mungkin dikenakan tanpa adanya pengenaan PPN. Artinya, ketika konsumen membeli suatu Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah, konsumen dikenakan PPN dan PPnBM.
Praktisi Perpajakan Ronsianus B Daur menilai pengampunan pajak yang dicanangkan pemerintah memberi manfaat besar bagi bangsa Indonesia. Adapun beberapa keuntungan di antaranya dari sisi penerimaan uang tebusan, pengadministrasian data pajak, kepatuhan wajib pajak serta pelacakan terhadap shadow economy.
"Kami percaya tax amnesty jilid II akan lebih menguntungkan buat bangsa kita," ucapnya.
Dia pun menyayangkan masih ada beberapa pihak yang mengatakan program pengampunan pajak pada 2016-2017 tidak berhasil. Menurutnya hal tersebut cukup naif mengatakan bahwa pemerintah telah gagal.
Terbukti ketika program itu dicanangkan pemerintah berhasil mengumpulkan uang tebusan Rp 135 triliun berdasarkan surat setoran pajak, dari jumlah pengungkapan harta sebanyak Rp 4,885 triliun. Adapun jumlah tersebut menjadi angka yang fantastis.
"Dari awal kita memprediksikan bahwa uang tersebut banyak diperoleh dari repatriasi asset tetap dan lancar dari luar negeri. Ternyata komposisinya berbanding terbalik," ucapnya.
Adapun angka deklarasi dalam negeri justru meningkat Rp 3,676 triliun, sedangkan deklarasi luar negeri hanya sebesar Rp 1,031 triliun dan repatriasi sebesar Rp 147 triliun. Dari segi nominal deklarasi dan repatriasi jauh panggang dari api tapi pada sisi lain pengungkapan harta dalam negeri sangat mengejutkan.