Jumat 21 May 2021 15:06 WIB

KSPI Khawatirkan Komersialisasi Vaksin Gotong Royong

Diperkirakan perusahaan yang mampu membayar vaksin tak lebih dari 10 persen.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andi Nur Aminah
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung program vaksinasi Gotong Royong. Namun KSPI khawatir nantinya vaksin gotong royong akan menyebabkan komersialisasi. "Program vaksinasi berbayar yang dikenal dengan nama Vaksin Gotong Royong, sekalipun biaya vaksinasi dibayar oleh pengusaha, dikhawatirkan akan terjadi komersialisasi vaksin atau transaksi jual beli harga vaksin yang dikendalikan oleh produsen (pembuat vaksin)," kata Presiden KSPI, Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/5).

Kekhawatirannya tersebut didasari tiga alasan. Pertama, berkaca dari program rapid tes, awalnya pemerintah menggratiskan program rapid tes. Tetapi belakangan rapid tes terjadi komersialisasi dengan harga yang memberatkan. 

Baca Juga

"Akhirnya ada semacam komersialiasi, dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang awalnya mengratiskan rapid tes bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri (membayar sendiri)," ujarnya.

Menurutnya tidak menutup kemungkinan hal yang sama terjadi pada program vaksinasi Gotong Royong, awalnya dibiayai perusahaan, tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh. Kedua, kemampuan keuangan di tiap perusahaan yang berbeda-beda.

Said memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia. Sedangkan hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80 persen dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin gotong royong.

"Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus membayar sendiri biaya vaksin gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan ikut bertanggungjawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia," ucapnya.

Kemudian yang ketiga, di tengah ledakan PHK, pengurangan upah buruh, dan ancaman resesi ekonomi, Said menilai pemerintah tidak mungkin memberikan tambahan beban biaya kepada perusahaan untuk menyelenggarakan vaksinasi Gotong Royong tersebut. Menurutnya biaya vaksin Gotong Royong akan memberatkan perusahaan dan pada gilirannya nanti juga akan menekan kesejahteraan buruh. 

Selain itu, mengingat jenis vaksin yang digunakan berbeda dengan vaksin yang selama ini diberikan secara gratis oleh pemerintah, Said Iqbal mengingatkan agar buruh tidak dijadikan uji coba vaksin. Keamanan vaksin harus dipastikan kehalalan dan keamanannya. 

Said menegaskan, intinya KSPI mengharapkan kepada pemerintah agar pemberian vaksin untuk buruh digratiskan. Bila pemerintah membutuhkan anggaran tambahan untuk menyelenggarakan vaksin gotong royong ini, ia menyarankan sebaiknya pemerintah menaikkan sedikit dan wajar nilai pajak badan perusahaan (PPH 25) dan mengambil sebagian anggaran kesehatan yang dalam UU Kesehatan besarnya adalah lima persen dari APBN dengan cara melakukan efisiensi birokrasi di bidang kesehatan. 

"KSPI setuju dengan vaksin gotong royong, tetapi biaya ditanggung pemerintah. Karena sesuai dengan perintah konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU Kesehatan, dan UU Karantina; program vaksinisasi Covid-19 ini adalah tanggungjawab negara," ungkapnya. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement