REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Dewan Konstitusi Prancis membatalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memungkinkan sekolah untuk mengajar dalam bahasa minoritas seperti Basque, Breton, dan Korsika. Alasan pembatalan rencana itu karena melihat aturan tidak konstitusional.
Nama aturan itu adalah RUU Molac berdasarkan nama anggota parlemen Paul Molac dari Brittany yang memperjuangkan aturan tersebut. RUU ini ditujukan untuk meningkatkan bahasa daerah, yang juga mencakup bahasa Katalan dan Kreol.
"Kecaman Dewan tidak dapat dipahami untuk daerah. Kita harus berhenti takut pada bahasa daerah, kita harus melindungi, menghargai, dan menyelamatkan mereka," kata Molac di Twitter.
Sekolah yang didanai negara sudah dapat menyediakan pendidikan bilingual. Kemudian, pada April parlemen Prancis menyetujui RUU yang mengizinkan sekolah dasar untuk mengajar sebagian besar mata pelajaran sekolah dalam bahasa daerah, sambil juga mengajar bahasa Prancis.
Tapi Kementerian Pendidikan mengajukan banding atas RUU tersebut dengan alasan bahwa pengajaran yang mendalam dapat berarti bahwa anak-anak tidak mencapai tingkat keterampilan bahasa Prancis yang disyaratkan. Dewan Konstitusi sebagai otoritas konstitusional tertinggi Prancis yang harus menyetujui semua undang-undang baru, memutuskan bahwa RUU itu tidak sesuai dengan pasal dua konstitusi Prancis. Pasal terus menetapkan bahwa bahasa republik Prancis adalah bahasa Prancis.
Untuk alasan yang sama Dewan Konstitusi juga menolak proposal RUU yang mengizinkan tanda diakritik non-Prancis seperti tilde dalam dokumen resmi. Bahasa Prancis memiliki beberapa tanda diakritik seperti itu, seperti aksen halus, berat, dan sirkumfleksa dan trema titik ganda pada beberapa vokal, serta cedilla di bawah huruf c, terutama pada kata francais.