REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian orang mungkin merasa kurang bisa berkonsentrasi dan emosi saat lapar namun tidak segera mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Hal ini biasa dikaitkan pada balita, tapi sebenarnya bisa dialami segala usia.
Alyssa Ardolino, ahli diet terdaftar dari Reston, Virginia, memaparkan penjelasan ilmiah di balik itu. Koordinator komunikasi nutrisi untuk Dewan Informasi Pangan Internasional AS tersebut mengatakan, tubuh ingin Anda tetap hidup.
Tubuh mungkin tidak tahu bahwa seseorang belum makan siang karena tidak sempat, banyak pekerjaan, harus bekerja lembur, atau dompet yang tertinggal. Tubuh hanya tahu saat ini juga butuh lebih banyak energi.
"Jika karena suatu alasan, Anda kekurangan kalori atau tidak makan secara konsisten, ini berfokus pada bagian utama tubuh yang perlu dipertahankan seperti jantung, otak, dan organ vital tertentu," kata Ardolino.
Secara biokimia, manusia dipengaruhi oleh rasa lapar yang dapat memengaruhi perilaku. Saat tidak makan dalam waktu yang lama, seseorang bisa merasa kesal, lelah, berperilaku impulsif, susah fokus, bahkan kesadaran secara umum menurun.
Sebuah studi dari University of North Carolina di Chapel Hill, yang diterbitkan dalam Emotion edisi Juni 2018, juga mendalami itu. Tim melakukan percobaan guna memeriksa apakah kelaparan secara otomatis membuat semua orang lebih emosional.
Pada percobaan pertama, subjek yang lapar dan tidak lapar melihat serangkaian gambar emosional yang negatif, positif, dan netral. Mengikuti setiap gambar emosional, subjek berbahasa Inggris diperlihatkan huruf atau piktograf Cina.
Subjek kemudian menilai perasaan mereka dan menilai apakah menurut mereka karakter Cina yang baru dilihat menggambarkan sesuatu yang baik, buruk, atau netral. Salah satu penulis studi, Jennifer MacCormack, menjelaskan hasilnya.
Tim menemukan hasil menarik terkait rasa marah saat lapar alias "hangry" (hungry & angry). Pada eksperimen pertama, rasa lapar hanya mendampak penilaian persepsi peserta setelah sebelumnya melihat gambar negatif.
"Ini menunjukkan bahwa jika Anda berada dalam situasi positif atau situasi netral, mungkin rasa lapar hanya sedikit berpengaruh, tetapi tidak akan benar-benar menjadi menonjol atau berpengaruh pada emosi," ujar MacCormack.
Eksperimen lain meminta sebagian subjek berpuasa lima jam atau lebih, dan sebagian lain datang ke lab setelah makan besar. Begitu sampai di lab, mereka diminta untuk menulis cerita tentang emosi, atau cerita tentang aktivitas harian.
Setelah itu, subjek melakukan tugas persepsi visual di mana mereka melihat lingkaran di komputer. Namun, diprogram agar komputer yang digunakan seolah-olah macet dan peserta disalahkan karena dituding menyebabkan kerusakan tersebut.
MacCormack menjelaskan itu semua dimaksudkan menciptakan situasi negatif, di mana sebagian peserta menahan lapar karena diminta berpuasa. Sekali lagi, konteks emosi terbukti penting memengaruhi tingkat emosional peserta.
Meskipun semua orang berada dalam situasi negatif, seseorang yang lapar tidak secara otomatis meledak marah. MacCormack menyampaikan, hanya orang-orang lapar yang sebelumnya tidak memikirkan emosi yang memperlihatkan kemarahan.
Penemuan tersebut menunjukkan bahwa orang-orang lapar yang memperhatikan atau menyadari perasaannya dapat mengurangi kemungkinan emosi ketika lapar. MacCormack mencatat hal itu sebagai kesadaran emosional yang bergantung pada kepribadian.
"Beberapa orang lebih terhubung dengan perasaan mereka daripada yang lain. Namun, menjadi sadar diri atau penuh perhatian, juga dapat dipelajari sampai taraf tertentu," ucapnya, dikutip dari laman Healthline, Ahad (23/5).