Ahad 23 May 2021 22:47 WIB

Publik Harus Sadar dan Bersinergi Cegah Covid-19

Pengendalian Covid-19 Non-obat Tekan Kasus Baru

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Muhammad Subarkah
Warga melintas di dekat spanduk peringatan untuk warga yang berkerumun di kawasan Sabang, Jakarta, Ahad (23/5). Tren jumlah pasien rawat inap di RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran terus bertambah dalam lima hari terakhir. Penambahan itu seiring dengan banyaknya jumlah pemudik yang terpapar Covid-19 pada arus balik Lebaran. Berdasarkan data Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan), jumlah pasien rawat inap di Wisma Atlet per Ahad (23/5) sebanyak 1.251 orang. Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Warga melintas di dekat spanduk peringatan untuk warga yang berkerumun di kawasan Sabang, Jakarta, Ahad (23/5). Tren jumlah pasien rawat inap di RS Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran terus bertambah dalam lima hari terakhir. Penambahan itu seiring dengan banyaknya jumlah pemudik yang terpapar Covid-19 pada arus balik Lebaran. Berdasarkan data Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan), jumlah pasien rawat inap di Wisma Atlet per Ahad (23/5) sebanyak 1.251 orang. Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Pengendalian covid-19 secara global belum menampakkan hasil maksimal. Meski ada negara-negara berhasil meminimalisir kasus baru, namun negara-negara lain masih terus terjadi lonjakan kasus secara signifikan.

Pakar statistika UGM, Prof Dedi Rosadi mengatakan, bila kasus covid tidak bisa dikendalikan akan sulit mengharapkan pandemi berakhir dalam waktu dekat. Malah, potensial menjadi endemik global atau endemik di wilayah-wilayah tertentu.

Dari data statistik pengendalian kasus baru tingkat global, ia merasa, metode pengendalian non-obat terbukti efektif meminimalisir munculnya kasus baru. Beberapa yang sukses menekan kasus baru ada Cina, Australia dan Selandia Baru.

Namun, pengendalian lewat vaksin dan obat secara global tetap harus terus digalakkan. Terutama, selama belum disiplinnya masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan, misal keterbatasan vaksin dan obat serta mutasi virus.

"Sampai saat ini memang secara global fokus masih di pengendalian non-obat," kata Dedi, Sabtu (22/5).

Pengendalian non obat, kata Dedi, memiliki tingkat efektifitasnya beragam dalam menekan munculnya kasus baru dalam beberapa bulan terakhir. Tapi, perlu diingat ada negara-negara justru terjadi gelombang kedua dan ketiga penularan.

"Efektifitasnya beragam, ada yang sudah sampai multi waves, namun banyak juga yang masih single wave seperti di Indonesia, Maroko, Paraguay, Uruguay," ujar Dedi.

Meski pengendalian non-obat terbukti efektif untuk beberapa negara, belum tentu negara-negara lain karena faktor seperti ketegasan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat. Namun, ia yakin, jika ini diterapkan global bisa mencegah endemi.

"Saya yakin ini akan sangat sulit, sehingga endemik wilayah atau global sangat mungkin akan terjadi, tapi kalau bisa dilakukan efektif secara global kejadian endemik tidak akan terjadi," kata Dedi.

Menekan penularan perlu juga melalui vaksin dan obat. Meski efektifitas vaksin harus terus diuji dan teknik pengobatan efektif ke penyakit terus diusahakan. Namun, bila satu atau keduanya bisa berjalan efektif endemik dapat dihindari.

"Banyak faktor yang menjadi kendala dan tetap terus harus diwaspadai dari permintaan dan ketersediaan vaksin dan obat, mutasi virus, faktor sosial masyarakat," ujar Dedi. 

IDI: Ada 240 Varian Baru Covid-19 

 

Beberapa varian baru Covid-19 telah memasuki Indonesia seperti B117, B1617 hingga B 1351. Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat bahkan sedikitnya ada 240 jenis mutasi Covid-19 di enam bulan setelah pandemi terjadi.

 

PB IDI Mariya Mubarika menilai mutasi virus jadi hal yang alami. Mutasi akan terus ada dan bukan sesuatu hal yang harus bisa dihentikan. 

 

"Itu tidak mungkin. Laporan yang kami dapat enam bulan setelah pandemi, mutasi varian yang berbeda saja 240 jenis," katanya dalam sebuah diskusi bertema Varian Baru Covid-19, Sabtu (22/5).

 

Ia mengakui, jumlah varian baru virus ini cukup banyak di dunia.  Terkait varian baru B117 asal Inggris, B1617 dari India dan B.1.351 asal Afrika Selatan yang sudah masuk Indonesia, ia tak bisa menyimpulkan apakah ini mematikan.

 

"Apakah varian ini mematikan di Indonesia? Ini sulit untuk diambil kesimpulan," katanya.

 

Namun, ia menyayangkan masyarakat belum sepenuhnya memahami masalah yang terjadi. Sehingga, dia melanjutkan, apa yang dilakukan bukan sesuatu yamg konkrit, bermanfaat buat dirinya tetapi hal-hal yang malah menimbulkan masalah baru terkait mutasi.

 

"Padahal, kalau mau selamat, mau sehat maka masyarakat harus berjuang fokus menjaga sebaik mungkin penyakit penyerta (komorbid) dan itu adalah benteng-benteng pertahanan untuk melindungi dari serangan Covid-19 apapun mutasinya," katanya. 

 

Hal penting lainnya, dia melanjutkan, adalah mencegah penularan dengan tidak stres. Ia mengakui kadang stres juga menurunkan imunitas tubuh kemudian meningkatkan risiko penularan. Sebab, pihaknya mendapatkan laporan ada orang sehat ketika terinfeksi ketakutan setengah mati kemudian akibatnya mengalami gejala infeksi virus yang berat.

 

Tak hanya itu, ia menambahkan, pusat pengendalian dan pencegahan penyakit (CDC) tegas mengatakan bahwa ada transmisi virus dengan cara aerosol dalam ruangan tertutup meski telah menjaga jarak.

 

Oleh karena itu, ia meminta masyarakat harus membuka pintu atau memasang air sterilitation. Dengan menerapkan upaya-upaya ini, ia percaya transmisi bisa dihindari semaksimal mungkin.

 

"Jadi,  masyarakat harus benar-benar pahami," katanya. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement