REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Impor gula terus dikritik karena tidak efektif untuk menurunkan harga gula di Tanah Air. Untuk meningkatkan efektivitasnya, impor gula perlu diikuti pembenahan tata niaga.
Impor gula tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya alat dalam mengatasi permasalahan gula di Indonesia. Tanpa adanya pembenahan tata niaga gula di dalam negeri, impor hanya akan bertindak sebagai solusi sementara yang efektivitasnya terus dipertanyakan.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani, menuturkan, terdapat faktor-faktor lain yang juga berkontribusi pada rendahnya produksi gula dalam negeri, seperti laju konversi lahan pertanian dan rantai distribusi yang panjang, juga berperan dalam mengurangi efektivitas impor gula sebagai alat untuk stabilisasi harga.
“Pemerintah perlu terus meningkatkan upaya untuk memperbaiki tata niaga gula, baik secara on-farm dan off-farm. Selain revitalisasi mesin dan pabrik gula, kebijakan-kebijakan yang dibuat juga perlu fokus pada pemenuhan kebutuhan gula di dalam negeri. Regulasi impor perlu dibuat sesederhana mungkin dan memungkinkan impor dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dalam membaca kebutuhan pasar,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/5).
Data United States Department of Agriculture (USDA) 2020 menunjukkan, Indonesia memproduksi 29,3 juta ton tebu yang digiling menjadi 2,1 juta ton gula untuk konsumsi selama periode Mei 2020 - Mei 2021. Indonesia harus mengimpor sekitar 5,2 juta ton gula untuk memenuhi konsumsi domestik yang mencapai 7,4 juta ton.
Terus bertambahnya jumlah konsumsi gula di Tanah Air, yang salah satunya disebabkan laju populasi penduduk, tidak bisa diimbangi kemampuan petani tebu dan pabrik gula. Salah satu penyebab rendahnya produksi gula di Indonesia adalah umur fasilitas produksi gula tebu yang sudah tua.
Data USDA 2020 menunjukkan, sebanyak 40 dari 56 pabrik gula yang ada di Indonesia berusia lebih dari 100 tahun. Pemerintah sudah merespons masalah ini melalui revitalisasi pabrik gula yang sudah ada dan membangun pabrik-pabrik baru.
Masalah lain penyebab rendahnya produksi gula adalah laju konversi lahan pertanian. USDA juga menyebut, sebanyak 56 persen area panen tebu yang ada di Indonesia berlokasi di Jawa. Menurut studi Rondhi et al., (2018), laju konversi lahan pertanian secara umum di Indonesia adalah 187,720 ha per tahun.
Angka ini diperkirakan dapat terus meningkat mengingat pembangunan pusat kawasan industri di Jawa Tengah. Pengembangan infrastruktur besar-besaran yang terjadi di Pulau Jawa pun berpotensi menurunkan luas area panen dan jumlah panen tebu setiap tahunnya.
Arum menambahkan, ongkos logistik yang tinggi juga perlu menjadi perhatian. Data BPS 2019 menunjukkan, rata-rata margin perdagangan dan pengangkutan di Indonesia adalah sebesar 33.18 persen dan Maluku merupakan provinsi dengan margin perdagangan dan pengangkutan tertinggi, yaitu sebesar 57.49 persen.
Tingginya margin perdagangan dan pengangkutan disebabkan oleh panjangnya rantai perdagangan bagi provinsi yang tidak menghasilkan gula sendiri. Sebagai contoh, Maluku harus mengimpor mayoritas gulanya dari Jawa Timur (99,96 persen) dan Nusa Tenggara Barat (0,04 persen).
Dari luar provinsi, gula harus melalui tiga mata rantai sebelum gula sampai di tangan konsumen, yaitu distributor, agen dan pedagang eceran. Biaya logistik yang tinggi sekaligus panjangnya rantai perdagangan membuat harga gula di tingkat konsumen mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
Tantangan terakhir dan cukup fundamental adalah belum tersedianya satu data tebu dan gula yang akurat. Sebagaimana permasalahan yang melanda komoditas lain, data akurat yang dapat dijadikan acuan masih relatif sulit ditemukan di Indonesia.
Khusus untuk gula, data yang dapat diakses oleh publik berbeda-beda antara satu instansi dengan instansi lain. Kalau data yang tidak akurat dijadikan dasar pengambilan kebijakan, lanjut Arum, maka kebijakan yang dihasilkan tidak akan mampu merespons permasalahan yang ada.
“Pemerintah, terutama Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, perlu merumuskan metode pengumpulan data dan meningkatkan transparansi mengenai database yang dipakai untuk merumuskan kebijakan. Hal ini harus dilakukan agar kebijakan yang diambil dapat mengilustrasikan realitas yang ada di lapangan dan dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih efektif,” ujarnya.