Sebelumnya, Managing Partner Inventure Yuswohady mengekspresikan kekhawatirannya terhadap oligopoli tech giants di pasar digital Indonesia dengan praktik predatory tactics. Kemudian, dia menjelaskan lebih lanjut kekhawatirannya tersebut dengan mengambil Clubhouse sebagai contoh.
Yuswohady memaparkan, Clubhouse mencoba memasuki area kill zone atau daerah kekuasaan para pelaku besar digital.
Baca Juga: GoTo Berpotensi Jadi Mimpi Buruk bagi Startup Indonesia
"Clubhouse coba-coba memasukinya, akibatnya ia digebukin ramai-ramai oleh Facebook, Twitter, Spotify, LinkedIn, Telegram cs hingga babak-belur," tutur Yuswohady dikutip dari laman pribadinya yuswohady.com, Senin (24/5/2021).
Pada awal 2021 lalu, Clubhouse hadir dan mengalami sukses yang luar biasa. Puncak kesuksesannya yaitu pada Februari 2021 Clubhouse diunduh oleh 9,2 juta pengguna hanya dalam kurun waktu satu bulan.
Kesuksesannya ini menarik perhatian para kompetitornya. Yuswohady menyatakan, Twitter sempat berusaha membeli platformnya dengan harga US$4 miliar, tetapi usaha tersebut tidak berhasil. Merasa tidak berhasil menggunakan metode eat, pengamat perusahaan rintisan tersebut menyatakan tech giants melakukan metode kill.
Baru-baru ini, Twitter meluncurkan fitur baru yaitu Spaces. Menurut Yuswohady, perilisan Spaces membunuh kehadiran Clubhouse yang baru lahir. Tidak hanya Twitter, pelaku tech giants lain juga melakukan pengklonaan di platform mereka sendiri, seperti Facebook dengan fitur Live Audio Room dan Spotify dengan Locker Room.
Hal tersebut berdampak fatal terhadap Clubhouse. April 2021 lalu, jumlah unduhan Clubhouse terjun bebas sekitar 66 persen dan diprediksi akan terus turun. Ini memperbesar kemungkinan Clubhouse akan segera tamat.
Peristiwa-peristiwa tersebut yang menjadi penyebab kekhawatiran Yuswohady. Jika di masa yang akan datang para pelaku tech giants juga melakukan merger seperti GoTo, peluang matinya perusahaan rintisan baru akan makin besar.
"Saya berkeyakinan ekosistem digital Indonesia akan kuat dan sehat jika diisi oleh ribuan bahkan jutaan startup yang tumbuh di dalam persaingan yang fair, bukan persaingan predatori seperti yang menimpa Clubhouse," ungkapnya.
Dia menambahkan, jangan sampai Indonesia mengulang apa yang terjadi di Amerika Serikat dan China, di mana pasar dihegemoni para pelaku besar seperti Facebook, Google, Alibaba, hingga Tencent yang kekuasaannya hampir tidak memiliki batas.